Saturday, June 14, 2008

"ORKES SAKIT HATI"





Fidel Hardjo






Suatu hari ketika lapangan di tengah kota becek, orang-orang pada ngomel. Tetapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.”
“Seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, “Kikir betul orang itu”. Tetapi Pygmalion berkata, “Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu”.
“Anak-anak mencuri apel di kebun, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kasihan,anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.”


Inilah cara berpikir positip ala Pygmalion. “Pygmalion” adalah salah satu kisah legendaris Romawi kuno. Alangkah indah dan damainya dunia ini, jika disesaki oleh orang-orang seperti Pygmalion “suka berpikir positip”, kata pujangga Romawi, Ovid dalam bukunya Pygmalion.


Alkisah, Pygmalion adalah seorang pemuda kesepian, piawai memahat patung, dan pemuda melankolis yang sama sekali tidak tertarik dengan wanita. Tetapi, rumor ini dijungkirbaliknya 100%.


Pygmalion justru tertambat hatinya, kepada sebuah patung wanita cantik yang dipahatnya sendiri. Karena cintanya yang membara-bara maka Ia pun berdoa kepada dewi cinta Venus, untuk menghidupi patung itu. Doanya pun dikabulkan. Ia pun menikahi wanita cantik itu.


Namun, bukan kisah pernikahan ini yang membuat Pygmalion heboh dan digandrungi oleh masyarakat sejamannya dan komunitas manusia di jaman ultra modern ini.


Melainkan, karena ketercerahan pandangan hidupnya. Pygmalion memandang segala sesuatu dari sudut yang baik alias “positive thinking”. George B. Shaw, pemenang hadiah nobel kesusasteraan Irlandia tahun 1925, menyebut perangai positip Pygmalion ini sebagai “pygmalion management”.



Orkes Sakit Hati


Bagaimana membaca kehidupan kita dalam “kaca mata” pygmalion? Coba kita amati warna-warni hidup kita sekarang. Hidup susah, konflik sana-sini, harga sembako mencekik, ruang politik yang rawan berseteru, kehidupan rumah tangga terseok-seok menggiring kita menuju “orkes sakit hati” tak bertepi.


Lantas situasi tertekan itu, orang sakit hati muncul membeludak baik di kota-kota besar maupun di desa-desa. Ada banyak yang memilih protes di jalan-jalan. Tak sedikit pula yang memilih diam. Diam dalam kepedihan. Inilah situasi kita, orkes sakit hati (meminjam judul lagu Slank).


Implikasinya, orang mudah tersinggung, menyalahi orang lain, sukar sekali berpikir positip. Padahal, apa yang kita pikirkan menentukan menjadi siapakah kita. Seperti apa yang dikatakan oleh Devis Kelvin, “what you have become is what you have thought” (The Law of Atraction, 2008).


Artinya, jika kita berpikir fokus pada konflik, masalah, dan menuding orang lain penyebab situasi sulit maka sebenarnya kita sendiri sedang memenjarakan diri dalam kesulitan. Maka, kita lupa mencari solusi. Energi kita hanya menari-nari dari suatu kesulitan meloncat ke kesulitan lainya.


Misalkan saja. Masalah pencabutan subsidi BBM. Sudah jelas-jelas pemerintah mencabut subsidi. Kita malah sibuk protes. Katanya, ini jaman demokrasi. Tetapi, lihat protes itu tidak membuahkan hasil. Energi kita sudah terkuras banyak. Ulah protes itu muncul konflik baru. Para sopir mogok. Giliran berikutnya, aktivitas sosial macet.


Padahal, kalau kita sinergikan energisitas yang ada, untuk bekerja dan mencari solusi lebih produktif maka ia sangat menolong kita memperbaiki hidup yang kian susah ini, ke arah yang lebih menjanjikan.


Contoh lain, apa yang telah kita buat atas masalah gizi buruk, buta huruf, kelaparan dan bencana alam di daerah kita? Tak lebih saling menyalahi. Rakyat menuding pemerintah sebagai penyebabnya. Karena, tidak mampu mengurus rakyat.


Para pemimpin juga menuding rakyat yang malas bekerja, pasrah dengan keadaan, menjadi penyebab mengapa daerah kita tidak maju-maju. Maka, sempurna sudah lingkaran saling menuding itu. Masuk akal, jika orkes sakit hati terus nyaring bergema.


Padahal, keadaan separah sekarang ini butuh kerja keras dan kerja sama kita semua. Selagi kita mengerangkeng saling menyalahi, biar langit ini juga runtuh, kesejahteran sosial itu sulit digenggam. Sama saja kita mengharapkan kucing bertanduk.


Itulah sebabnya, managemen pygmalion berkata, “anyone can determine their destiny through the power of their minds” (orang dapat mengubah haluan hidupnya oleh kedahsyatan berpikirnya).


Andaikan saja, energi pikiran kita sekarang “digumpalkan” untuk membangun kekuatan bersama menata hidup bersama maka bukan tidak mungkin segala persoalan sosial kita ditemukan jalan ke luar.


Yang terjadi apa? Pemimpin jalan sendiri, organisasi sosial urus sendiri, rakyat pun tenggelam dalam situasinya sendiri-sendiri. Lalu, kita berteriak kapan keadaan berubah. Mengapa semut bisa membuka terowong gelap di kaki gunung, hanya dengan merajut kerja sama? Dan, mengapa kita tidak bisa?


Lihat saja, ketika seorang naik jadi pemimpin, ada-ada saja kelompok lain tampil menjadi penentang. Mengapa bukan mendukung? Akhirnya, kebijakan kandas total. Tetangga sebelah membangun rumah tembok, kata-kata pujian sulit didengar. Jika ada kawan kantor naik pangkat, yang lain justru mengumpatnya. Apa yang salah?


Menangis, berdoa, dan merengek bantuan kepada orang lain tidak cukup. Maka, saatnya kita mengubah pikiran dan tingkah laku dari partisan menuju impartisan,dari inklusif menuju eksklusif, dari negatip menuju positip. Inilah jargon pygmalion, jalan “berpikir positip”.


Pengharapan Positip


Pengharapan positip merangkul kekuatan pikiran rasionalitas dan kecerdasan hati nurani. Pertama, masalah akan datang pergi tapi fokuskan perhatian pada pencarian solusi ketimbang tenggelam dalam konflik atau masalah itu sendiri.


Yang biasa kita lakukan adalah habiskan energi memeluk konflik daripada berjuang mencari solusi. Intinya, seperti kata Winston Churchil, mantan Perdana Menteri Inggris. " Seorang pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan; seorang optimistis melihat kesempatan dalam setiap kesulitan."

Kedua, mengapresiasi kesuksesan orang lain sekecil apapun. Dengan demikian kita bisa belajar dari kesuksesan orang lain dan orang yang sukses semakin menyadari arti kesuksesannya dan memacunya memenetrasi kesuksesan baru.

Jika kita hidup dalam lingkaran seperti ini, maka kesuksesan demi kesuksesan terus tercipta. Kadang orang sulit menemukan jalan menuju kesuksesan hanya karena mengantongi pikiran gelap terlalu banyak. Sebening dan seindah apapun kehidupan ini akan tetap gelap jika kaca mata gelap kita enggan ditanggalkan.

Ketiga, “where the mind goes the feet will soon follow”. Artinya, jalan awal untuk mengatasi kesulitan sosial bukan karena kemampuan fisik (physical body) tetapi oleh seberapa besar harapan positip kita. Banyak konflik terjadi di sekitar kita karena ruang berpikir kita terkerucut ke titik nol, akibatnya kekerasan fisik mudah tersulut


Oleh karena itu, marilah kita membumikan gaya hidup pygmalion, kapan dan di mana saja kita berada.


Penulis, peminat masalah psikologi sosial, staf Televisi TBN, tinggal di Manila.

0 comments: