Saturday, May 24, 2008

“LAMPU KUNING” PILKADA NTT



Fidel Hardjo



Satu hati, satu harapan, satu doa kecil warga NTT, baik yang ada di luar, maupun di dalam daerah, ataupun di mana saja mereka berada, mendambakan pilgub NTT kali ini, dengan sistem demokrasi langsung (direct democracy): berjalan aman, lancar, damai, khikdmat dan sukses. Ini tidak sekadar doa kosong, tapi tersembul dari keringkihan azap dan sengsara rakyat!



Tetapi, hendak apa dikata. Baru tahap pengverifikasian paket cagub saja, kita sudah gagap dengan konflik. Bahkan, ditenggarai jadwal pilgub NTT akan diundur tanpa jelas. Ini baru babak awal. Masuk akal, kalau kita gelisah. Apalagi, jelang hari kampanye - pencoblosan - saat pengumuman hasil - pasti bakal lebih rumit. Terus terang, “lampu kuning” sedang menantang mata hati kita!


Lampu kuning itu adalah awasan imperatif moral. Pilkada akan kehilangan ikhtiarnya, jika tidak memeluk kesengsaraan rakyat. Rakyat kita sudah dijejali oleh banyak penderitaan: lapar, miskin, dungu, sakitan, bosan hidup bahkan frustrasi. Harga BBM naik dan diikuti fluktuasi harga sembako mencekik leher. Rasakan kegetiran rakyat ini. Oleh karena itu, kita tidak perlu bebani lagi rakyat dengan konflik pilkada. Jangan bikin rakyat tambah susah dan sengsara.



Lantas kesengsaran tak bertepi itulah, rakyat tak sabar menanti pemimpin baru. Pemimpin yang bisa mengangkat rakyat dari kubangan kesengsaraan menuju gerbang kesejahteraan dan kemakmuran. Lagi-lagi bukan konflik. Angan-angan rakyat itu sederhana. Sesederhana hidup yang mereka lakoni. Mereka hanya butuh harga garam, beras, minyak tanah, pupuk, minyak goreng murah dan bisa naik bemo jual sayur dan ubi di pasar. Itu sudah cukup bagi mereka.



Lebih salut lagi. Kalau anak-anak bisa disekolahkan gratis. Ibu-ibu hamil bisa bersalin di rumah sakit tanpa pungutan biaya. Anak-anak kurang gizi diobati gratis. Inilah impian mereka. Impian di balik triumphalistik suksesi pilkada. Jadi, bukan sekadar gelar ritual estafet pemimpin, apalagi syarat dengan konflik. Asal tahu, rakyat cuma butuh pemimpin idola, yang bisa melucuti baju hina kemiskinan dan kesengsaraannya dengan baju baru yang bersih, sehat dan layak.



Hanya perlu dingat, pinjam istilah Tony Kleden (wartawan PK), pilkada itu bukan euforia pilih NTT Idol, seperti pentas cengengan Indonesian Idol. Di mana idola dideterminasi oleh seberapa banyaknya SMS, seheboh apanya pekikan histeris, seenergik apa memengaruhi massa. Atau, sekadar atraksi circus, yang lebih banyak menebar pesona dan jenaka daripada kesiapan matang untuk ditantang dan menjawabi masalah rakyat kecil yang serba kompleks.



Kompleksitas penderitaan rakyat sejatinya adalah “par excellent” (the truest) hakikat pilkada. Derita rakyat sebagai “peta” yang mengarahkan dan menuntun, bagaimana kita semestinya memaknai pilkada ini. Karena itu, siapa saja baik pemimpin incubent, kontestan, KPUD, panwaslu, polisi maupun rakyat itu sendiri, sebaiknya bersinergi seoptimal mungkin mencegah konflik (horisontal maupun vertikal), yang sama sekali tidak memberi nilai plus kesejahteraan.



Itu mengandaikan, kita semua rela berjalan di atas roadmap yang sama, yaitu ikuti aturan main pilkada yang sudah ditetapkan. Jangan dikurangi, bukan pula ditambah-tambah. Apalagi pemilihan cagub kali ini agak pelik, sebab digelar demokrasi langsung dari desa ke desa dan kota ke kota. Betapa mahal taruhannya demokrasi langsung ini jika tanpa persiapan maksimal dan pemikiran bening. Kalau tidak, konflik bakal datang pergi melilit proses pilkada ini berlangsung.



Konflik mulai terpecah ketika orang atau kelompok mengusung peta sendiri–sendiri (baca: self-interest) dalam pilkada. Apa yang dipikirkan aku. Apa yang didoakan kami. Apa yang diimpikan aku. Apa yang diingat kami. Lalu, ruang refleksivitas untuk rakyatnya di mana? Artinya, biar kita pilih seribu satu kali pemimpin dalam setahun nihil makna, sama saja membuang garam ke laut.



Lihat saja reaksi tutup mulut KPUD NTT, setelah ada aksi demo dari pendukung paket cagub yang tidak lulus tahap verifikasi. Mengapa ada konspirasi “tutup mulut” kalau apa yang ditetapkan KPU berlaku jujur, adil, transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku? Sebaliknya, mengapa pendukung paket cagub yang dinyatakan tidak lulus verifikasi KPU, masih nekad menuntut keadilan? Apa yang salah kebijakan KPUD NTT?



Penulis bukan ingin menyalahi siapa-siapa. Sekadar menyadarkan kita betapa ongkos demokrasi mahal kalau berjalan menurut peta sendiri. Rakyat bisa terbelah oleh kepentingan politisi. Ujung-ujung dari tindakan anorma ini adalah rakyat sendiri menjadi korban yang menyayatkan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang sudah lama diimpikan semakin jauh oleh prahara konflik.



Benar apa yang dikatakan DR. Budi Kleden, bahwa susahnya melahirkan pemimpin sama seperti kesusahan bunda melahirkan anak. Adalah celaka besar jika orang tidak merasa risih dengan kata-kata bijak ini. Rakyat sudah kehabisan kata. Tinggal bagaimana nurani para politisi kita menjawab. Armstrong (2006) katakan zaman jahiliah sekarang, yang penuh prahara, pertikaian, konflik, kehancuran nilai dan keteladanan, hanya bisa ditebusi dengan kepemimpinan profetik.



Kepemimpinan profetik itu bersikap jujur, adil, bijaksana, transparan dan selalu pro rakyat kecil. Spiritualitas kepemimpinan profetik ini merupakan corong demokrasi. Cerminan kepemimpinan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, apa yang dikecap oleh rakyat selama ini, pengartian demokrasi, “hanya sebatas dari rakyat, oleh rakyat tapi bukan untuk rakyat”. Lihat sendiri hasilnya!



Rakyat semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Rakyat semakin bodoh dan yang kaya semakin pintar. Rakyat semakin sengsara, yang pintar semakin pintar membahagiakan hidup. Rakyat protes BBM naik, pemimpin cuma duduk manis pangku tangan dan pada saatnya palu diketuk, BBM mesti dinaik. Lagi-lagi tidak untuk rakyat.



Jika demikian, maka perlu dipertanyakan untuk apakah kita menyelengarakan pilkada jika hasilnya tidak menguntungkan rakyat? Berapa besar dana dikucur dari keringat rakyat untuk kontestasi pilkada ini. Berapa banyak energi rakyat tersedot untuk penggelaran pilkada ini? Kalau akhirnya dibayar dengan ketidakadaan perubahan dalam situasi riil masyarakat akar rumput.



Padahal, rakyat telah kuras energi, sibuk pilih pemimpinnya. Para bapak tinggalkan bajak sawah, rela lepaskan iris tuak berhari-hari. Para ibu gantungkan periuk, tidak lagi jual sayur ke pasar, hanya ingin dengar kampanye calon pemimpin. Rakyat harus berbaris antrean mencoblos pemimpin pujaan sepanjang hari. Belum lagi, kalau rakyat diaduk-aduk oleh konflik politisi.



Inikah semua bayaran yang mesti dipikul oleh rakyat? Pertanyaan ini menjadi ruang refleksi yang mesti tersimpan rapih di pojok hati: KPU, panwas, polisi, DPR, semua pemimpin termasuk cagub NTT sekarang yang siap bertarung dalam pilgub.



Artinya, pilkada bukan ditolak tetapi semestinya pilkada itu memberi makna signifikan kepada kepentingan rakyat. Bagaimanapun kita butuh seorang pemimpin. Karena, kita susah bayangkan masyarakat tanpa pemimpin sama seperti sebuah hutan rimba yang disesaki harimau liar-ganas.



Oleh karena itu, pilgub NTT kali ini kita harapkan agar memosisikan penderitaan rakyat di atas segala-galanya. Penderitaan rakyat mesti menjadi concern bersama, yang harus kita eksekusi bersama bukan menciptakan konflik. Konflik awal pilgub NTT bukan berarti kita sudah gagal segala-galanya. Konflik awal itu hanya menjadi “lampu kuning” untuk warga NTT.



Lampu kuning itu bisa saja berubah. Entahkah menjadi “lampu merah” yang sangat membahayakan atau bisa saja berubah menjadi “lampau hijau” yang penuh daya elan vital membangkitkan NTT. Semuanya, tergantung dan kembali kepada pikiran dan mata hati kita yang bening.



Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.

Monday, May 19, 2008

APA ITU CINTA?



What Does Love Mean to Children?

'When my grandmother got arthritis, she couldn't bend over and paint
her toenails anymore.
So my grandfather does it for her all the time, even when his hands
got arthritis too.
That's love.'

Rebecca- age 8

------------ --------- --------- --------- ---------

'When someone loves you, the way they say your name is different.
You just know that your name is safe in their mouth.'

Billy - age 4

------------ --------- --------- --------- -------

'Love is when a girl puts on perfume and a boy puts on shaving
cologne and they go out and smell each other.'

Karl - age 5

------------ --------- --------- --------- -------

'Love is when you go out to eat and give somebody most of your French
fries without making them give you any of theirs.'

Chrissy - age 6

------------ --------- --------- --------- --------

'Love is what makes you smile when you're tired.'

Terri - age 4

------------ --------- --------- --------- --------- -

'Love is when my mommy makes coffee for my daddy and she takes a
sipbefore giving it to him, to make sure the taste is OK.'

Danny - age 7

------------ --------- --------- --------- -----

'Love is when you kiss all the time. Then when you get tired of
kissing, you still want to be together and you talk more.

My Mommy and Daddy are like that. They look gross when they kiss'

Emily - age 8

------------ --------- --------- --------- -

'Love is what's in the room with you at Christmas if you stop opening
presents and listen.'

Bobby - age 7 (Wow!)

------------ --------- --------- --------- -

'If you want to learn to love better, you should start with a friend
who you hate,'

Nikla - age 6 (we need a few million more Nikla's on this planet)

------------ --------- --------- -----

'Love is when you tell a guy you like his shirt, then he wears it
everyday.'

Noelle - age 7

------------ --------- --------- --------- ----

'Love is like a little old woman and a little old man who are
stillfriends even after they know each other so well.'

Tommy - age 6

------------ --------- --------- ---------

'During my piano recital, I was on a stage and I was scared. I looked
at all the people watching me and saw my daddy waving and smiling. He
was the only one doing that. I wasn't scared anymore.'

Cindy - age 8

------------ --------- --------- --------- --

'My mommy loves me more than anybody. You don't see anyone else
kissing me to sleep at night.'

Clare - age 6

------------ --------- --------- --------- ---

'Love is when Mommy gives Daddy the best piece of chicken.'

Elaine-age 5

------------ --------- --------- --

'Love is when Mommy sees Daddy smelly and sweaty and still says he is
handsomer than Robert Redford.'

Chris - age 7

------------ --------- --------- ---------

'Love is when your puppy licks your face even after you left him
alone all day.'

Mary Ann - age 4

------------ --------- --------- --------

'I know my older sister loves me because she gives me all her
oldclothes and has to go out and buy new ones.'

Lauren - age 4

------------ --------- --------- ---

'When you love somebody, your eyelashes go up and down and little
starscome out of you.' (what an image)

Karen - age 7

------------ --------- --------- ---

'Love is when Mommy sees Daddy on the toilet and she doesn't think
it's gross.'

Mark - age 6

------------ --------- --------- -----

'You really shouldn't say 'I love you' unless you mean it. But if you
mean it, you should say it a lot. People forget.'

Jessica - age 8

------------ --------- --------- -----

The winner was a four year old child whose next door neighbor was an
elderly gentleman who had recently lost his wife.

Upon seeing the man cry, the little boy went into the old gentleman's
yard, climbed onto his lap, and just sat there.

When his Mother asked what he had said to the neighbor, the little
boy said,

'Nothing, I just helped him cry'