Tuesday, July 8, 2008

“TREN BUNUH DIRI”, ADA APA?



Fidel Hardjo


Dada kita mendadak sesak, seperti dihunjam palu godam teramat berat membaca berita menyedihkan. Ibu membunuh anak lalu bunuh diri – siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian - setidaknya, menurut dokomentasi Pos Kupang, sejak tahun 2008 sudah ada sembilan kasus bunuh diri (PK, 4/7/2008).

Memilih jalan tragis bunuh diri semacam tren. Apa yang ganjil dengan masyarakat kita? Mengapa mereka mudah putus asa, suka jalan pintas mengakhiri hidup yang sumpek, dan tidak tegar menghadapi masalah?

Bunuh diri adalah problem sekaligus realitas “ad infinitum” (baca: tanpa akhir). Sejak jaman Aristoteles, Plato, Durkheim, Weber, Marx bahkan sampai sekarang persoalan bunuh diri itu terus dianalisis (“dipertanyakan”).

Mengapa Bunuh diri?

Aristoteles melihat akar bunuh diri sebagai kerapuhan “political grounds” yang kontra-kondusif, menyebabkan individu bunuh diri. Situasi politik yang depresif, hopeless dan worthless menggiring individu menuju pembunuhan diri.

Plato justru menuding kerapuhan “religious grounds” sebagai penyebabnya. Bunuh diri diyakini destini hidup yang sudah digariskan oleh dewa. Ini adalah keyakinan ekstrem dari iman. Dengan menghabisi hidup duniawi, individu “dijanjikan” akan berkanjang bestari dalam komunitas dewa (surgawi).

Analisis kedua filsuf besar ini, tidak sepenuhnya benar.Tapi, dengan mempelajari cirkumtans, fakta, alasan, surat, pesan, informasi, tingkah laku si korban, baik sebelum maupun sesudah bunuh diri, “sedikitnya” menggaungkan kebenaran.

Pertama, pada umumnya korban bunuh diri karena keterpaksaan. Terpaksa bunuh diri karena utang melilit, harga sembako mencekik leher, ongkos pendidikan dan kesehatan yang mahal, gagal ujian dan lapangan kerja minim (plus gagal bercinta).

Hanya, siapa yang umumkan harga sembako naik? Siapa yang mengatur biayai pendidikan dan kesehatan naik? Siapa yang menetapkan UN? Siapa yang membuat arena politik tidak kondusif? Siapakah memicu gerakan demonstrasi?

Sekali lagi siapa? Inilah sari pemahaman Aristoteles. Di mana, kerapuhan “ dasar politik” lapisan bawa sebagai sebab musabab aksioma pembunuhan diri.

Carut-marut politisi dan kondisi politik yang kotor, menyebabkan rakyat tak terurus dan jatuh tersungkur dalam kotak kemiskinan (hopeless - worthless – helpness) maka jalan menuju bunuh diri terbuka lebar (Durkheim).

Kedua, faktor religius (agama) juga turut berpengaruh. Lihat saja, dari surat, pesan atau wasiat si korban bunuh diri. Umumnya, korban (terkesan) begitu dekat dan pasrah kepada Tuhan. Bahkan, percaya bahwa, setelah bunuh diri itu ada kedamaian dan ketenangan abadi (plus masuk surga).

Keyakinan ini yang disebut Plato sebagai, kerapuhan “dasar religius” lapisan bawa, yang memicu pilihan bunuh diri. Mungkin, itulah sebabnya Nietzsche mengejek keras, agama sebagai opium, pil penenang dan pelarian irasional.

Setidaknya, kedua pemikiran di atas bisa dipakai sebagai pisau analisis untuk membedah tren aksi bunuh diri yang mengejutkan kita saat ini. Kita tergagap-gagap, koq sudah sembilan korban! Hitung korban macam hitung biji kemiri.

Pertama, kemiskinan kronis telah menyebabkan tak sedikit warga kita suka main pinjam uang. Pinjam uang, entah untuk biayai pendidikan anak, biaya kesehatan, urusan belis, pesta sambut baru/nikah bahkan beli beras pada musim lapar. Jadinya, utang di mana-mana!

Yang berbahaya adalah di sana tengkulak beroperasi bebas. Bunga pinjaman uang pun tidak enteng-enteng. Mau apa dikata. Namanya, butuh uang karena itu, ada ibu atau bapak nekad pinjam, apapun resikonya. Taruhannya saat panen.

Belakangan, di luar dugaan, cuaca berubah drastis. Maka, panen gagal total dan pada saat itulah tengkulak menagih utang. Siapa tidak malu kalau setiap saat para tengkulak datang menuntut utangnya dibayar. Apalagi jika diketahui oleh tetangga sebelah. Dari sinilah potensi bunuh diri berkecembah di ubun.

Situasi batas itu diperuncing, oleh pemahaman iman yang keliru. (Mungkin) Sebatas dengar ajaran agama tentang ada kehidupan setelah kematian. Padahal, tak satupun agama yang mencintai kematian apalagi dengan jalan membunuh diri. Paling-paling, ada kehidupan setelah kematian.

Oleh sebab itu, kedua landasan dasar ini, yang menjadi kekuatan manusia yaitu aspek badaniah dan rohaniah. Urusan badaniah “dipercayakan” kepada negara dan rohaniah “dipercayakan” kepada agama. Namun, mengapa dan mengapa aksi bunuh diri terus bergentanyangan?

Ruang Bertanya

Pertama, bagaimanapun inilah ruang refleksi bagi pemerintah, bagaimana mengatasi kemiskinan rakyat. Terutama, agar rakyat tidak dililiti oleh banyak utang dengan tengkulak busuk. Mungkin, saatnya kehidupan koperasi perlu digalakan, seperti mengukir kejayaan koperasi desa tahun 80-an.

Bagi orang kaya dan berpendidikan mungkin bisa pinjam uang ke bank tapi rakyat kecil, yang melihat kantor bank saja sudah gugup, apalagi masuk ke dalam kantor itu, pasti lebih takut. Ini masalah sepeleh. Tapi, akibatnya sangat serius. Lalu, siapa yang membantu menyadarkan orang-orang kecil seperti ini?

Kedua, pendidikan karakter itu penting. Pemerintah sebagai stakeholder pendidikan daerah semestinya lebih berkreatif mengembangkan pendidikan berkarakter. Hindu Dharma menyebut tiga poin utama pendidikan karakter yaitu “pembelajaran” (learning) tentang baik-buruk, benar-salah dan indah-jelek.

Dengan pembenahan karakter ini, Dharma membagi keyakinan, “A man without character is like a wild bull let loose in a cornfield. Every fool may become a hero at one time or another, but the people of good character are heroes all the time”.

Apa yang kita buat selama ini adalah menyembah UN, yang lebih mefokuskan pencapaian (achieving) daripada pembelajaran. Bahkan, kita hanya habiskan energi untuk mepersiapkan UN. Tidak heran, dari luar generasi muda kita terkesan pintar dan pandai tapi sesungguhya di dalam rapuh dan keropos.

Ketiga, dengan merebaknya tren bunuh diri di daerah kita, kalau kita (sedikit) jujur, maka ini juga bagian kegagalan agama (gereja). Bahwa, umat kita sedang tercebur dalam aneka wajah kemiskinan termasuk “miskin iman”.

Buktinya, ada korban bunuh diri merasa yakin bahwa bunuh diri, mungkin jalan paling meyakitkan bagi kebanyakan orang tapi anehnya bagi korban mengalami kedamaian dalam kematian(bunuh diri). Apa ini soal keyakinan diri atau interpretasi salah atas iman itu?

Makanya, inilah moment bertanya bagi agen pastoral. Perlukah kita merumuskan pendekatan pastoral baru? Pendekatan yang tidak hanya menghibur umat dengan janji suci dan kotbah kudus. Tapi bagaimana menyadarkan dan membantu umat untuk menghadapi masalah harian lebih kreatif dan produktif? Apakah itu mungkin? Itu yang kita tunggu.

Artinya, baik negara maupun agama, toh punya tanggung jawab yang sama atas martabat hidup manusia. Negara mengurusi aspek badaniah, sementara, agama (gereja ) mengurusi aspek rohaniah dari rakyat itu.

Oleh karena itu, keberhasilan rakyat/umat adalah kebanggaan dua lembaga ini. Hanya perlu diterima juga, kalau aksi bunuh diri rakyat/umat NTT belakangan ini adalah pretensi kegagalan negara dan agama itu sendiri. Entahkah negara dan agama salah mengurusi warganya atau warga salah mengurusi dirinya?

Penulis, Alumnus STFK Ledalero, tinggal di Manila
(Dimuat Di Pos Kupang)