Thursday, August 7, 2008

MERDEKALH DESAKU




(Desahan Orang Desa Dalam Puisi Taufik Ismail)


Fidel Hardjo

Desa yang merdeka, apa sungguh ada? Jika ada, mengapa Taufik Ismail dalam puisinya berjudul Merdeka menyindir: Merdeka! Belum (1998). Puisi paling pendek, tapi menyimpan 1001 rahasia kehidupan orang desa, yang tak terjamah.


Separuh dari warga kita adalah kaum desa. Hanya, apa warga desanya sungguh “merdeka”? Taufik Ismail dalam puisinya “Aku Malu Menatap Wajah Saudaraku Petani”(2003) akan menguraikan sengkarut jawabannya, penuh anasir gelitik.


Inilah ruang permenungan kita. Sudah 100 tahun kita menikmati Kebangkitan Nasional, dan kita kembali merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-63. Tapi kemerdekaan warga desanya, jauh dari zeitgeist (jiwa kemerdekaan) itu sendiri.


Taufik Ismail (TI) menggambarkan desa abad XXI, belum merdeka bahkan sama buruknya hidup orang desa di abad sebelumnya. Setidaknya, napas puisi TI menjadi ajang pencerahan bersama, di cela-cela kesibukan seremonial HUT kemerdekaan RI yang ke-63 tahun ini. Adakah berita baik datang dari desa?


TI yakin multikrisis yang pernah mengutuk bangsa ini, seperti krisis iklim, BBM, ekonomi, politik, hukum dan orang desalah selalu saja jadi korban. Lihatlah, ketika petak-petak sawah mengering, serangan hama datang, harga panenan ambruk, nelayan tidak melaut, para ojek parkir motornya, dolar menguat gara-gara korupsi politisi, begitu gampang dikonpesasi oleh proyek IDT dan BLT.


Padahal, kalau menyubsidi BBM, pupuk gratis, obat hama, bikin irigasi dan mesin penyedot air, maka jauh lebih membantu dan memerdekakan orang desa. Yah, susahnya tidak sempat merasakan duka lara orang desa. Sehingga, public policy menyerupai “gincu”; memikat mata sebentar, kemudian menghilang.


Sebaliknya, TI menyanjung, orang desa justru kian lama menyubsidi kehidupan orang kota. Termasuk, menjual beras, kacang-kacangan, sayur-mayur, ikan segar sangat murah. Anehnya, orang kota, menentukan harga jualan. Sebagai anak kota, Aku malu, cetus pemilik puisi “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia” ini.

Itulah sebabnya, TI dengan nada sinis mencibir “Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani, Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani..... sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian, tak pernah kami orang kota, ganti memberikan subsidi”.

TI juga melihat kecurangan pembangunan. Orang desa adalah kaum anomie oleh keserakahan pembangunan abad ini. Prioritas pembangunan mem-bubble di kota. Tanpa jelas juntrungannya, kenapa warga desa kian tersisih, terabaikan.

Lihatlah, di mana tiang listrik berakhir dan jalan beraspal berujung maka di sebelahnya, adalah kampung desa. Di mana ada penyakit dan anak buta huruf bertumpuk-tumpuk, jumlah para guru dan perawat paling sedikit. Di sanalah warga desa hidup serba menyedihkan. Aku malu, menatap wajah saudaraku!

Sementara di kota, guru membludak. Dokter dan perawat berhamburan. Air minum dan listrik berkelimpahan. Putar keran, air langsung ke mulut periuk. Tekan tombol, ruangan jadi terang benderang. Yah, serba ada, cuma di kota.


Tapi, TI bercela protes, bukankah air, listrik, beras dan sayur-mayur, kayu bangunan bahkan semua pernak-pernik kegemerlapan kota dijarah dari desa?


Inilah fenomen imperior, yang disebut Mao Zedong sebagai “kota mengepung desa” (1923). Semuanya dijarah dari desa! Tapi, warga desa dikuliti dan ditinggali tanpa ekses dan akses akseleratif yang seimbang dan manusiawi.


Bayangkan, pipa jumbo dari kota, langsung menyedot mata air orang desa. Ironisnya, orang desa terpaksa membeli air bersih ke kota. Kayu-kayu bangunan, dari rumah jabatan bupati, seharga miliyaran rupiah sampai kantor pak lurah, juga ditebang dari hutan orang desa. Tapi, orang desanya tinggal di gubuk reot.


Bahkan, bahan bakar listrik, mobil, motor, kompor, juga diboyong dari isi perut gunung orang desa. Tapi, sampai sekarang warga desa hanya diterang oleh lampu pelita. Harga minyak tanah pun meroket. Di manakah desa merdeka itu?


Semakin buruk kalau menatap nasib pendidikan. Sekolah-sekolah desa tidak perhatikan. Atap sekolah bocoran di mana-mana. Kalaupun ada program pendidikan sangat tidak masuk akal. Program buku elektronik, mobil pintar dan internet masuk desa adalah bentuk sinisme paling kejam terhadap orang desa.


Bagaimana, mobil pintar dan buku elektronik bisa masuk desa jika jalan rayanya saja, tidak ada atau jelek-jelek. Bagaimana buku elektronik dan internet bisa diunduh, jika tiang listriknya hanya terpancang di sudut kota. Lagi-lagi, program pendidikan sama sekali, tidak berpihak warga desa.


Masalah kesehatan lebih parah. Dokter, perawat, serta fasilitas kesehatan di desa kian minim. Kalau ada dokter atau perawat ditugaskan di pedesaan, tidak lama akan pindah ke kota. Sepertinya, mereka benci melayani orang kotor atau tidak merasa nyaman melayani orang miskin. Padahal, mereka digaji tinggi-tinggi. Untuk, sekian kalinya, TI berkata Aku malu!


Di ranah politik lain lagi. Pada musim pemilu tiba, entah pilih bupati, gubernur bahkan presiden maka warga desa jadi bula-bulanan. Bahkan, untuk merebut suara mereka, ritus sembah rakyat dadakkan diadakan. Tapi, setelah menjadi boss, yah, suara orang sekarat seperti ini, dianggap sampah busuk.

Karenanya, TI berontak “Petani saudaraku, Aku terpaksa mengaku, Kalian selama ini kami jadikan objek. Belum jadi subjek. Berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku malu”. Di sini TI, bak anak kecil memrotes ibunya supaya dicium, sebagaimana ibu mencium adiknya penuh hangat.

Wow..kalau ada pemimpin berjiwa besar seperti ini, mungkin kondisi kita tidak seambruk sekarang ini. Susahnya, tidak ada pemimpin yang mengakui salah, sehingga bagaimana mengoreksi kesalahan, kalau semuanya dianggap benar.

Hatiku berbisik. Apakah TI belum tahu juga, kalau begitu banyak orang desa yang mengais hidup di kota tapi justru mereka diusir dan digusur secara tidak manusiawi, hanya karena kehadiran mereka dipandang mengotori kota, terutama yang tiduran di emperan toko, atau di bawa kolong jembatan.


Memang orang desa, tempatnya di desa. Tapi, orang tidak bertanya kenapa orang desa mulai mengembara ke kota. Orang desa berlahan-lahan mengepung kota. Ketika desa menjadi kampung mati, maka TI membagi keyakinan bahwa negeri sebesar apapun akan tidak lama lagi berada di tebing kehancuran.


Petaka itu terindikasi oleh gerakan revolusi masif “Desa Mengepung Kota”(Mao Zedong). Lebih-lebih kalau, warga desa selalu dijadikan obyek, tempat parasit, komoditas politik dan dengan penuh kesadaran dilupakan.

Di ujung puisinya, TI seakan tergumpal pesimisme kepada pemimpin sekarang. Sebab, pemimpin kita seperti pemain pencak silat. Kita pikir ransek ke kiri, padahal ke kanan. Susah ditebak apa maunya.

TI cuma mendesah kepada Tuhan. “Merdekalah Desaku. Ya Tuhan, Tolonglah petani kami. Tolonglah bangsa kami. Amin”.



Penulis, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.


(Dimuat di Pos Kupang)