SENJA YANG TAK TERLUPAKAN

Fidel Hardjo
Senja paling brengsek! Hujan lebat. Yah ampun..! Air setinggi lutut membanjiri kota Manila, tepatnya di Makati. Ini pertama kali aku saksikan, banjir sehebat ini, mengguyur kota Manila. Banjir menyapu kota Makati, jantung bisnis kota.
Kebetulan, jam kantor usai sore itu. Saya memilih numpang bus publik ber-AC. Biasanya, aku naik Jepney karena Jepney di Manila, larinya cepat bahkan kalah speed meluncurnya ojek-ojek kita, membawa penumpang. Gesit dan praktislah!
Di luar dugaan. Bus yang kutampangi mogok di jalan. Karena berhenti terlalu banyak angkut penumpang. Kaget, banjir sudah setinggi lutut di jalan. Padahal, kalau aku naik Jepney dari tadi, tak seberapa menit pasti sudah di rumah. Hanya, naik Jepney, risikonya siap lobang hidung tersumbat debu hitam, apalagi bunyinya Jepney meraung-raung dan asapnya mengepul seperti mesin giling!
Bus mogok. Karena air sudah masuk di knalpot-nya mobil itu. Untuk membunuh rasa kecewa, saya pilih tidur saja di atas kursi bus, sampai menanti banjir meredah. Hanya, saya lihat banyak penumpang nekad turun dari bus, lalu melintasi banjir itu, menuju mall yang tak berjauhan. Saya lihat ibu-ibu berani terjang banjir! Terus, kenapa saya begitu manja! Apalagi, dulu waktu kecil di saya biasa berenang di kali banjir.....macam terbang-terbang saja!
Saking ramainya, saya pun ikut menerjang banjir. Ikuti orang banyak ke Mall. Di mall, orang datang pergi seperti tanpa tujuan. Saya pun dengan keadaan basah parkir di pojok luar mall itu. Karena terlalu dingin, saya raba saku jeansku, ambil beberapa coin peso (mata uang Pilipina) untuk beli dua batang rokok pada penjual rokok enceran di pinggir jalan, yang bajunya basah kuyup. Tapi, tegar!

Ketika saya sedang ngepul rokok, dua teman kantorku muncul. Tanpa basah basih, mereka ajak aku ke dalam mall. Meskipun, kami setengah basah kuyup maka bergegaslah kami ke dalam mall. Di samping pintu mall, ada Mc Donald. Temanku bisik, ayo kita minum teh susu hangat. Orang Pilipina memang suka sekali instant food, apalagi sebut Jollibee, Mc Donald, dan Chowking.
Ketika usai minum-minum, rencananya saya langsung ke rumah. Eh..ternyata teman saya ajak “pasial-pasial” (semacam pesiar-pesiar, term kita). Maka muncullah kami di sebuah kerumuan. Ayo.. kita ikutan “holly mass” dulu dech...kebetulan ada misa orang-orang Katolik. Yah, saya dengan beberapa teman mau tidak mau ikut misa itu, walaupun saya rasa perut sudah kembung.
Belum selesai misanya, saya tarik napas keluar sebentar, soalnya perut saya bunyi. Saya takut kecolongan kentut...hehehe! Berdirilah aku di luar sebentar. Saya begitu terkejut. Ternyata, tak seberapa jauh dari kapela itu, ada orang muslim juga sedang sholat di ruangan sebelah. Sekejap pikiranku melayang, apa mungkin bisa terjadi seperti ini, di mall-mall Indonesia. Rukun itu indah yah.
Dulu saya pernah lihat di Bandara Hongkong, tempat doa orang muslim berdampingan dengan Kristen. Tapi, waktu itu orangnya tidak sebanyak dan seramai ini. Inilah yang membuat saya tak habis berpikir. Betapa indahnya hidup berdampingan di atas suku, agama dan ras yang berbeda. Justru pemandangan itu terjadi di tempat publik, tempat shopping center.
Kalau di Asia, Pilipina adalah negaranya bermayoritas Kristen. Sedangkan Indonesia, negaranya bermayoritas Muslim. Hanya, sampai detik ini, saya belum temukan persoalan agama di negerinya Macapagal Arroyo ini diperuncing. Memang problem orang Muslim di Mindanao ada. Tapi, tak lebih dari perjuangan separasi, seperti tendensi gerakan separasi beberapa daerah di Indonesia.
Inilah yang membuatku berdecak kagum. Sekalipun, Pilipina mayorits Kristen, orang tidak terseret oleh persoalan agama. Entah di tempat kerja, pergaulan, dan di tempat tinggal. Tidak berlebihan, kalau saya bilang, mereka lihat agama urusan bilik privat. Tidak ada peristiwa, orang bakar gereja atau bakar mesjid.

Saya masih ingat, sebagai orang asing, ketika mencari rumah rental di kota Manila. Waktu itu, saya takut. Apalagi, yang namanya orang Indonesia sudah terstigma oleh terorisme. Maaf, ini bukan asal omong. Kalau tidak percaya, nanti Anda akan rasakan kalau bepergian ke luar negeri. Di bandara tempat tujuan Anda bepergian, staf imigrasi akan periksa Anda secara ekstra hati-hati lho!
Terus, di luar dugaanku, pemilik rumah itu, tidak bertanya tentang agamaku sekalian pun mereka tahu saya orang Indonesia. Ini yang membuat saya angkat jempol buat mereka. Mereka sempat tanya tempat aku bekerja. Itu juga didahului kata maaf. Saya sempat maklumi. Sebab, banyak pemilik rumah rental di kota Manila dibohong, terutama orang-orang yang tidak jelas pekerjaannya.
Padahal, saya masih ingat ketika saya tinggal sementara di kota Jakarta berapa tahun yang lalu. Pertanyaan pertama, yang muncul dari mulut pemilik kost adalah Anda agama apa? Saya tidak mengerti, apa korelasinya. Seakan-akan, agama sangat menentukan baik-buruknya orang. Atau, sekan-akan agama berbeda menjadi ancaman bagi the others (orang seberang).
Sampai saat ini, pertanyaan itu terus berkecamuk dalam hatiku. Saya bertanya dalam hati, kenapa hidup di negara orang, kita merasa diterima dan tidak dipersulit oleh identitas agama. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Tapi, kita mungkin perlu pelajari cara bangsa lain, hidup berdampingan.
Akhirnya, dari pengalaman saya sendiri, hidup di negeri orang kadang pribadi kita distigmasisasi oleh prestasi dan kegagalan bangsa dan daerah kita sendiri.

Misalkan saja. Di Pilipina, yang namanya orang Indonesia, biar Anda pandai atau tidak bermain badminton, tapi sebut atau lihat orang Indonesia pegang raket badminton saja, orang langsung bulu badan berdiri, bahkan kaki gemetar kalau bermain badminton dengan orang Indonesia......hehehehehe.......! Apalagi, kalau Anda sebut, raket badminton Anda, sekelas dengan raketnya Taufik Hidayat.
Sebaliknya, kalau di negeri kita sering muncul aksi terorisme....yah bukan hanya urusan visa kita dipersulit dunk kalau mau berpergian, tapi cukup sebut dan tahu bahwa kita orang Indonesia di mana saja kita berada, orang langsung angkat sandal dan lihat kita dengan sebelah ekor mata saja!
(Dimuat di Pos Kupang kolom Surat dari Rantau)
Kebetulan, jam kantor usai sore itu. Saya memilih numpang bus publik ber-AC. Biasanya, aku naik Jepney karena Jepney di Manila, larinya cepat bahkan kalah speed meluncurnya ojek-ojek kita, membawa penumpang. Gesit dan praktislah!
Di luar dugaan. Bus yang kutampangi mogok di jalan. Karena berhenti terlalu banyak angkut penumpang. Kaget, banjir sudah setinggi lutut di jalan. Padahal, kalau aku naik Jepney dari tadi, tak seberapa menit pasti sudah di rumah. Hanya, naik Jepney, risikonya siap lobang hidung tersumbat debu hitam, apalagi bunyinya Jepney meraung-raung dan asapnya mengepul seperti mesin giling!
Bus mogok. Karena air sudah masuk di knalpot-nya mobil itu. Untuk membunuh rasa kecewa, saya pilih tidur saja di atas kursi bus, sampai menanti banjir meredah. Hanya, saya lihat banyak penumpang nekad turun dari bus, lalu melintasi banjir itu, menuju mall yang tak berjauhan. Saya lihat ibu-ibu berani terjang banjir! Terus, kenapa saya begitu manja! Apalagi, dulu waktu kecil di saya biasa berenang di kali banjir.....macam terbang-terbang saja!
Saking ramainya, saya pun ikut menerjang banjir. Ikuti orang banyak ke Mall. Di mall, orang datang pergi seperti tanpa tujuan. Saya pun dengan keadaan basah parkir di pojok luar mall itu. Karena terlalu dingin, saya raba saku jeansku, ambil beberapa coin peso (mata uang Pilipina) untuk beli dua batang rokok pada penjual rokok enceran di pinggir jalan, yang bajunya basah kuyup. Tapi, tegar!

Ketika saya sedang ngepul rokok, dua teman kantorku muncul. Tanpa basah basih, mereka ajak aku ke dalam mall. Meskipun, kami setengah basah kuyup maka bergegaslah kami ke dalam mall. Di samping pintu mall, ada Mc Donald. Temanku bisik, ayo kita minum teh susu hangat. Orang Pilipina memang suka sekali instant food, apalagi sebut Jollibee, Mc Donald, dan Chowking.
Ketika usai minum-minum, rencananya saya langsung ke rumah. Eh..ternyata teman saya ajak “pasial-pasial” (semacam pesiar-pesiar, term kita). Maka muncullah kami di sebuah kerumuan. Ayo.. kita ikutan “holly mass” dulu dech...kebetulan ada misa orang-orang Katolik. Yah, saya dengan beberapa teman mau tidak mau ikut misa itu, walaupun saya rasa perut sudah kembung.
Belum selesai misanya, saya tarik napas keluar sebentar, soalnya perut saya bunyi. Saya takut kecolongan kentut...hehehe! Berdirilah aku di luar sebentar. Saya begitu terkejut. Ternyata, tak seberapa jauh dari kapela itu, ada orang muslim juga sedang sholat di ruangan sebelah. Sekejap pikiranku melayang, apa mungkin bisa terjadi seperti ini, di mall-mall Indonesia. Rukun itu indah yah.
Dulu saya pernah lihat di Bandara Hongkong, tempat doa orang muslim berdampingan dengan Kristen. Tapi, waktu itu orangnya tidak sebanyak dan seramai ini. Inilah yang membuat saya tak habis berpikir. Betapa indahnya hidup berdampingan di atas suku, agama dan ras yang berbeda. Justru pemandangan itu terjadi di tempat publik, tempat shopping center.
Kalau di Asia, Pilipina adalah negaranya bermayoritas Kristen. Sedangkan Indonesia, negaranya bermayoritas Muslim. Hanya, sampai detik ini, saya belum temukan persoalan agama di negerinya Macapagal Arroyo ini diperuncing. Memang problem orang Muslim di Mindanao ada. Tapi, tak lebih dari perjuangan separasi, seperti tendensi gerakan separasi beberapa daerah di Indonesia.
Inilah yang membuatku berdecak kagum. Sekalipun, Pilipina mayorits Kristen, orang tidak terseret oleh persoalan agama. Entah di tempat kerja, pergaulan, dan di tempat tinggal. Tidak berlebihan, kalau saya bilang, mereka lihat agama urusan bilik privat. Tidak ada peristiwa, orang bakar gereja atau bakar mesjid.

Saya masih ingat, sebagai orang asing, ketika mencari rumah rental di kota Manila. Waktu itu, saya takut. Apalagi, yang namanya orang Indonesia sudah terstigma oleh terorisme. Maaf, ini bukan asal omong. Kalau tidak percaya, nanti Anda akan rasakan kalau bepergian ke luar negeri. Di bandara tempat tujuan Anda bepergian, staf imigrasi akan periksa Anda secara ekstra hati-hati lho!
Terus, di luar dugaanku, pemilik rumah itu, tidak bertanya tentang agamaku sekalian pun mereka tahu saya orang Indonesia. Ini yang membuat saya angkat jempol buat mereka. Mereka sempat tanya tempat aku bekerja. Itu juga didahului kata maaf. Saya sempat maklumi. Sebab, banyak pemilik rumah rental di kota Manila dibohong, terutama orang-orang yang tidak jelas pekerjaannya.
Padahal, saya masih ingat ketika saya tinggal sementara di kota Jakarta berapa tahun yang lalu. Pertanyaan pertama, yang muncul dari mulut pemilik kost adalah Anda agama apa? Saya tidak mengerti, apa korelasinya. Seakan-akan, agama sangat menentukan baik-buruknya orang. Atau, sekan-akan agama berbeda menjadi ancaman bagi the others (orang seberang).
Sampai saat ini, pertanyaan itu terus berkecamuk dalam hatiku. Saya bertanya dalam hati, kenapa hidup di negara orang, kita merasa diterima dan tidak dipersulit oleh identitas agama. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Tapi, kita mungkin perlu pelajari cara bangsa lain, hidup berdampingan.
Akhirnya, dari pengalaman saya sendiri, hidup di negeri orang kadang pribadi kita distigmasisasi oleh prestasi dan kegagalan bangsa dan daerah kita sendiri.

Misalkan saja. Di Pilipina, yang namanya orang Indonesia, biar Anda pandai atau tidak bermain badminton, tapi sebut atau lihat orang Indonesia pegang raket badminton saja, orang langsung bulu badan berdiri, bahkan kaki gemetar kalau bermain badminton dengan orang Indonesia......hehehehehe.......! Apalagi, kalau Anda sebut, raket badminton Anda, sekelas dengan raketnya Taufik Hidayat.
Sebaliknya, kalau di negeri kita sering muncul aksi terorisme....yah bukan hanya urusan visa kita dipersulit dunk kalau mau berpergian, tapi cukup sebut dan tahu bahwa kita orang Indonesia di mana saja kita berada, orang langsung angkat sandal dan lihat kita dengan sebelah ekor mata saja!
(Dimuat di Pos Kupang kolom Surat dari Rantau)
1 comments:
Post a Comment