Friday, September 5, 2008

AMBIVALENSI PENDIDIKAN

Fidel Hardjo


Berita “aneh” datang dari dunia pendidikan, tidak pernah absen. Mulai dari korupsi Kadis pendidikan, segerombolan anak ditelan pasir di Ende, pemboikotan sekolah jarak jauh, gusra-gusru penelantaran penari Lembata di Jakarta, sampai pada keengganan pemda menyeponsori anak berbakat mengikuti lomba ilmiah di Ibu Kota Negara. Kita mau maju atau mundur ini?

Ambilvalensi

Kita tiba pada stage: patah arang! Tidak ada lagi “Ratu Adil” yang bisa menyulap kerisauhan rakyat. Banyak orang berbicara dalam kebingungan. Tapi, tak lebih, saling mengambinghitamkan. Tanpa melihat dengan jernih duduk perkara. Yang bengkok dilihat lurus. Yang lurus dikira bengkok (teori Paralaks, Ilmu Fisika). Inilah aras utama kebingungan. Tapi, mengapa kita tidak belajar dari sejarah?

Amerika pasca perang dingin tahun 80-an pernah menggelar “Nation at Risk”. Lantas pendidikan AS waktu itu, mengalami penyeokkan total akibat konsentrasi perang dingin. Pendidikan berantakkan. Maka, lahirlah propaganda “No Children Left Behind”. Dari sini, “reborned-lah” negeri Pamansam, seadekuat sekarang ini.

Jepang pun sama. Setelah kehancuran Nagasaki dan Hirosima, Jepang mulai membangun jiwa bangsanya dari pendidikan, dari titik zero. Maka, jadilah Jepang seanggun sekarang. Korea, Singapura, Cina pun, mengawali jaman booming ekonominya, juga berawal dari penataan fondasi pendidikan kokoh.

Ada satu kesadaran kompulsif. Bangsa seraksasa apapun sekarang, tidak pernah luput dari sejarah kesuraman. Bahkan mereka lebih terkutuk dari kondisi kita. Tapi mereka sadar bahwa di ujung lorong selalu ada titik terang (post nubila jubilia) yaitu kesadaran resureksionis (kebangkitan) dimulai dengan pendidikan.

Ada yang katakan, kebangkitan itu dimulai dengan; proyek pembangunan mesti banyak. Uang juga butuh triuliunan. Tidak sedikit juga katakan, tangkap dulu koruptor. Bahkan, ada yang usulkan sebaiknya orang muda memimpin. Membingungkan. Semuanya, non par excellent, tidak menyentuh “zona keakaran” dari segala ketimpangan dan kejanggalan yang meresahkan.

Howard Gardner (The Disciplined Mind, 1999) menegaskan, kembang-kempis jantung kemajuan bangsa tergantung pada pendidikan. Tidak ada bangsa yang bodoh. Semua orang pintar. Hanya kecerdasan setiap bangsa/orang berbeda bidangnya. Ini sebagai kritikan arogansi Barat. “East is east. West is west. Never twain shall meet” (R. Kippling). Arogansi ini sama sekali konyol, nonsense!

Gardner meyakinkan kita, bahwa betapa pendidikan sangat menentukan pembingkaian kemajuan bangsa. Mengapa terjadi kemunduran seperti terlihat dalam aksi korupsi, pemerasan, penipuan, dan ketidakadilan dalam masyarakat? Artinya, ada the existential vacuum (kehampaan mendalam) dalam pendidikan!

Diktator dan Diktatoris

Teman saya asal Jawa, berkomentar penuh hipotesis gelitik, tentang pendidikan Indonesia, “Jangan harap ada perubahan di Tanah Air kita lho, karena generasi kita dibesarkan dalam kintal sekolah, di mana guru sebagai Diktator dan murid sebagai Diktatoris”. Apa artinya, tanya balikku, dengan gaya sedikit inocentil.

Guru menjadi diktator (tuan diktat, diktat 10 tahun nga pernah update, menyuruh mahasiswa menyembah menghafal diktat). Ia berorasi dari awal hingga akhir, ngga peduli murid ngerti apa ngga. Guru bertindak sebagai diktator karena apa pun yang ia katakan adalah benar dan murid harus meng-'ya'-kan semuanya.

Diskusi yang menjadi metode sahih pembelajaran seolah-olah menjadi “penyakit berbahaya”, yang perlu dieliminasi oleh Diktator. Berani bertanya, antara dua: digebuk atau mendapat angka merah seumur hidup. Di kintal inilah, pemimpin dan generasi baru kita dididik. Tidak heran sekeras apapun kita teriak, jangan korupsi, dan dengarlah suara rakyat kecil. Jangan harap didengar/diindahkan.

Muridnya menjadi diktatoris (yang didiktati, penyembah dan penghafal diktat). Artinya, ilmu mahasiswa bergantung 100% di diktat. Kerjanya pegang diktat sampai kumal, hafal sampai berbusa-busa. Diktat menjadi monopoli sumber ilmu pengetahuan bahkan tiket untuk menjadi Pegawai Negeri. Perpustakaan, penelitian, internet dijauhi, seakan penyakit maut mematikan.

Implikasinya, situasi kita tidak banyak berubah. Benar kata Latin, Bona Culina, Bona Disciplina (dapur baik akan menentukan disiplin baik). Dapur itu adalah sekolah-sekolah kita, mulai TKK sampai PT. Jadi, tak sedikit generasi kita sekarang, dididik dalam kintal dapur yang ambruk, pengap, otoriter, diktator, diktatoris seperti dinarasikan oleh kawan saya di atas.

Tidak perlu terkejut. Mengapa korupsi merajalela, siswa disuruh angkut pasir dan bukan bersekolah, pungli kepsek, kadis pendidikan korup, para profesor gunjang-ganjing sekolah jarak jauh (sementara yang dekat tak terurus baik), pengen maju tapi siswa daerah berprestasi dicuekin, penganggur output pendidikan membludak. Semua ini, punya relasi serius dengan radius kebobrokkan dapur pendidikan kita.


Lorong Kebangkitan


Jika Rumah Besar NTT ini, ingin bangkit. Tidak cara lain, selain perlu menelusuri lorong pendidikan (dapur) kita yang sudah tergasak. Dunia pendidikan kita perlu direformasi serius, diatur, dianimasi ke arah baik, benar dan bagus. Mulai dari kintal sekolah, yayasan, ruang kelas, sampai pada reposisi peran guru-murid diktator-diktatoris menuju common space dialogal-komunikatif.

Howard Gardner (1999) psikolog dan ahli peneliti pendidikan, pernah menjelajah hampir seluruh sekolah di dunia, menyebutkan tiga animatif kunci pendidikan pembelajaran apresiasi: Baik ( Good) , Benar (True) dan Bagus (Beautiful).

Pertama, belajar baik-buruk tentu berpautan dengan moral. Bayangkan, di sekolah kita, tidak pernah diajarkan korupsi, pemerasan, diktator, diktatoris, otoriter sebagai yang buruk. Semuanya, seolah-olah baik adanya. Contoh saja, Soeharto tidak pernah diajarkan sebagai sang koruptor di sekolah. Malah, dimaafkan tanpa pengadilan. Tidak heran, 50-an anggota DPR di Jakarta berbondong-bondong korupsi. Jadi, orang daerah juga ikut-ikutan?

Kedua, belajar benar-salah, lebih berkaitan dengan kajian rasionalitas. Contoh saja. Berapa banyak profesor dan mahasiswa kita terjun ke dalam dunia penelitian dan jurnal ilmiah. Bagaimana kita mengetahui secara baik, potensi/impotensi NTT, kalau output pendidikan kita berbasis pada profesor diktator dan mahasiswa diktatoris. Justru, generasi baru kita dituntun untuk percaya pada magik-mistis, gosip dan paranormal daripada kajian ilmiah.

Ketiga, belajar bagus-jelek. Di sekolah, mana ada ajar, tentang bahasa lokal, nyanyi dan cipta lagu, drama dan lawak lokal. Semuanya, kita miliki. Hanya kapan dan bagaimana produk lokal ini dijadikan aset yang produktif. Inilah akibat apriori akut produk lokal selalu jelek. Yang baik, indah, cantik datang dari luar.

Hasilnya, ketika pilkada tiba, orang pilih selebriti, ibu-ibu nonton sinetron impor 24 jam. Satu episode terlewatkan, mungkin satu minggu bakal tidak tidur nyenyak. Mana mau urus anak-anak. Alhasil, banyak generasi baru kita, sangat menyembah budaya Metropolis, Amerika, dan Cina dariapada budaya sendiri.

Nah, kita mau maju atau mundur ini? Budist bermenung sebentar, lalu berceloteh, “what you have become is what you have thought.” Kalau kita pikir NTT selalu mundur, maka yang terjadi adalah penggagalan masif. Sebaliknya, jika kita beroptimis NTT ini maju, maka “our future is in our hand. Sooner or later!

Penulis, Alumnus STFK Ledalero, Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.

Dimuat di Pos Kupang.



Thursday, August 14, 2008

BIRTHDAY MOMENT

Thanks my Friend !





Segala panjat doa dan harap selalu terukir untukmu
Semoga tercapai segala cita dan cintamu
Hari ini kuingin ada sebuah kebahagiaan



Terpancar dari bening sorot matamu
Terdengar dari lembut suaramu



Saat kuucapkan tulus dari palung hati yang terdalam

Selamat Ulang Tahun …




Kepakkan sepasang sayapmu

Kokohkan jejak langkahmu









Gapai segala angan yang menjelma dihati
Panjat suci doaku kan selalu menyertaimu

Sunday, August 10, 2008

SENJA YANG TAK TERLUPAKAN










Fidel Hardjo





Senja paling brengsek! Hujan lebat. Yah ampun..! Air setinggi lutut membanjiri kota Manila, tepatnya di Makati. Ini pertama kali aku saksikan, banjir sehebat ini, mengguyur kota Manila. Banjir menyapu kota Makati, jantung bisnis kota.


Kebetulan, jam kantor usai sore itu. Saya memilih numpang bus publik ber-AC. Biasanya, aku naik Jepney karena Jepney di Manila, larinya cepat bahkan kalah speed meluncurnya ojek-ojek kita, membawa penumpang. Gesit dan praktislah!


Di luar dugaan. Bus yang kutampangi mogok di jalan. Karena berhenti terlalu banyak angkut penumpang. Kaget, banjir sudah setinggi lutut di jalan. Padahal, kalau aku naik Jepney dari tadi, tak seberapa menit pasti sudah di rumah. Hanya, naik Jepney, risikonya siap lobang hidung tersumbat debu hitam, apalagi bunyinya Jepney meraung-raung dan asapnya mengepul seperti mesin giling!


Bus mogok. Karena air sudah masuk di knalpot-nya mobil itu. Untuk membunuh rasa kecewa, saya pilih tidur saja di atas kursi bus, sampai menanti banjir meredah. Hanya, saya lihat banyak penumpang nekad turun dari bus, lalu melintasi banjir itu, menuju mall yang tak berjauhan. Saya lihat ibu-ibu berani terjang banjir! Terus, kenapa saya begitu manja! Apalagi, dulu waktu kecil di saya biasa berenang di kali banjir.....macam terbang-terbang saja!


Saking ramainya, saya pun ikut menerjang banjir. Ikuti orang banyak ke Mall. Di mall, orang datang pergi seperti tanpa tujuan. Saya pun dengan keadaan basah parkir di pojok luar mall itu. Karena terlalu dingin, saya raba saku jeansku, ambil beberapa coin peso (mata uang Pilipina) untuk beli dua batang rokok pada penjual rokok enceran di pinggir jalan, yang bajunya basah kuyup. Tapi, tegar!


Ketika saya sedang ngepul rokok, dua teman kantorku muncul. Tanpa basah basih, mereka ajak aku ke dalam mall. Meskipun, kami setengah basah kuyup maka bergegaslah kami ke dalam mall. Di samping pintu mall, ada Mc Donald. Temanku bisik, ayo kita minum teh susu hangat. Orang Pilipina memang suka sekali instant food, apalagi sebut Jollibee, Mc Donald, dan Chowking.


Ketika usai minum-minum, rencananya saya langsung ke rumah. Eh..ternyata teman saya ajak “pasial-pasial” (semacam pesiar-pesiar, term kita). Maka muncullah kami di sebuah kerumuan. Ayo.. kita ikutan “holly mass” dulu dech...kebetulan ada misa orang-orang Katolik. Yah, saya dengan beberapa teman mau tidak mau ikut misa itu, walaupun saya rasa perut sudah kembung.


Belum selesai misanya, saya tarik napas keluar sebentar, soalnya perut saya bunyi. Saya takut kecolongan kentut...hehehe! Berdirilah aku di luar sebentar. Saya begitu terkejut. Ternyata, tak seberapa jauh dari kapela itu, ada orang muslim juga sedang sholat di ruangan sebelah. Sekejap pikiranku melayang, apa mungkin bisa terjadi seperti ini, di mall-mall Indonesia. Rukun itu indah yah.


Dulu saya pernah lihat di Bandara Hongkong, tempat doa orang muslim berdampingan dengan Kristen. Tapi, waktu itu orangnya tidak sebanyak dan seramai ini. Inilah yang membuat saya tak habis berpikir. Betapa indahnya hidup berdampingan di atas suku, agama dan ras yang berbeda. Justru pemandangan itu terjadi di tempat publik, tempat shopping center.


Kalau di Asia, Pilipina adalah negaranya bermayoritas Kristen. Sedangkan Indonesia, negaranya bermayoritas Muslim. Hanya, sampai detik ini, saya belum temukan persoalan agama di negerinya Macapagal Arroyo ini diperuncing. Memang problem orang Muslim di Mindanao ada. Tapi, tak lebih dari perjuangan separasi, seperti tendensi gerakan separasi beberapa daerah di Indonesia.


Inilah yang membuatku berdecak kagum. Sekalipun, Pilipina mayorits Kristen, orang tidak terseret oleh persoalan agama. Entah di tempat kerja, pergaulan, dan di tempat tinggal. Tidak berlebihan, kalau saya bilang, mereka lihat agama urusan bilik privat. Tidak ada peristiwa, orang bakar gereja atau bakar mesjid.


Saya masih ingat, sebagai orang asing, ketika mencari rumah rental di kota Manila. Waktu itu, saya takut. Apalagi, yang namanya orang Indonesia sudah terstigma oleh terorisme. Maaf, ini bukan asal omong. Kalau tidak percaya, nanti Anda akan rasakan kalau bepergian ke luar negeri. Di bandara tempat tujuan Anda bepergian, staf imigrasi akan periksa Anda secara ekstra hati-hati lho!


Terus, di luar dugaanku, pemilik rumah itu, tidak bertanya tentang agamaku sekalian pun mereka tahu saya orang Indonesia. Ini yang membuat saya angkat jempol buat mereka. Mereka sempat tanya tempat aku bekerja. Itu juga didahului kata maaf. Saya sempat maklumi. Sebab, banyak pemilik rumah rental di kota Manila dibohong, terutama orang-orang yang tidak jelas pekerjaannya.


Padahal, saya masih ingat ketika saya tinggal sementara di kota Jakarta berapa tahun yang lalu. Pertanyaan pertama, yang muncul dari mulut pemilik kost adalah Anda agama apa? Saya tidak mengerti, apa korelasinya. Seakan-akan, agama sangat menentukan baik-buruknya orang. Atau, sekan-akan agama berbeda menjadi ancaman bagi the others (orang seberang).


Sampai saat ini, pertanyaan itu terus berkecamuk dalam hatiku. Saya bertanya dalam hati, kenapa hidup di negara orang, kita merasa diterima dan tidak dipersulit oleh identitas agama. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Tapi, kita mungkin perlu pelajari cara bangsa lain, hidup berdampingan.


Akhirnya, dari pengalaman saya sendiri, hidup di negeri orang kadang pribadi kita distigmasisasi oleh prestasi dan kegagalan bangsa dan daerah kita sendiri.


Misalkan saja. Di Pilipina, yang namanya orang Indonesia, biar Anda pandai atau tidak bermain badminton, tapi sebut atau lihat orang Indonesia pegang raket badminton saja, orang langsung bulu badan berdiri, bahkan kaki gemetar kalau bermain badminton dengan orang Indonesia......hehehehehe.......! Apalagi, kalau Anda sebut, raket badminton Anda, sekelas dengan raketnya Taufik Hidayat.


Sebaliknya, kalau di negeri kita sering muncul aksi terorisme....yah bukan hanya urusan visa kita dipersulit dunk kalau mau berpergian, tapi cukup sebut dan tahu bahwa kita orang Indonesia di mana saja kita berada, orang langsung angkat sandal dan lihat kita dengan sebelah ekor mata saja!



(Dimuat di Pos Kupang kolom Surat dari Rantau)

Thursday, August 7, 2008

MERDEKALH DESAKU




(Desahan Orang Desa Dalam Puisi Taufik Ismail)


Fidel Hardjo

Desa yang merdeka, apa sungguh ada? Jika ada, mengapa Taufik Ismail dalam puisinya berjudul Merdeka menyindir: Merdeka! Belum (1998). Puisi paling pendek, tapi menyimpan 1001 rahasia kehidupan orang desa, yang tak terjamah.


Separuh dari warga kita adalah kaum desa. Hanya, apa warga desanya sungguh “merdeka”? Taufik Ismail dalam puisinya “Aku Malu Menatap Wajah Saudaraku Petani”(2003) akan menguraikan sengkarut jawabannya, penuh anasir gelitik.


Inilah ruang permenungan kita. Sudah 100 tahun kita menikmati Kebangkitan Nasional, dan kita kembali merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-63. Tapi kemerdekaan warga desanya, jauh dari zeitgeist (jiwa kemerdekaan) itu sendiri.


Taufik Ismail (TI) menggambarkan desa abad XXI, belum merdeka bahkan sama buruknya hidup orang desa di abad sebelumnya. Setidaknya, napas puisi TI menjadi ajang pencerahan bersama, di cela-cela kesibukan seremonial HUT kemerdekaan RI yang ke-63 tahun ini. Adakah berita baik datang dari desa?


TI yakin multikrisis yang pernah mengutuk bangsa ini, seperti krisis iklim, BBM, ekonomi, politik, hukum dan orang desalah selalu saja jadi korban. Lihatlah, ketika petak-petak sawah mengering, serangan hama datang, harga panenan ambruk, nelayan tidak melaut, para ojek parkir motornya, dolar menguat gara-gara korupsi politisi, begitu gampang dikonpesasi oleh proyek IDT dan BLT.


Padahal, kalau menyubsidi BBM, pupuk gratis, obat hama, bikin irigasi dan mesin penyedot air, maka jauh lebih membantu dan memerdekakan orang desa. Yah, susahnya tidak sempat merasakan duka lara orang desa. Sehingga, public policy menyerupai “gincu”; memikat mata sebentar, kemudian menghilang.


Sebaliknya, TI menyanjung, orang desa justru kian lama menyubsidi kehidupan orang kota. Termasuk, menjual beras, kacang-kacangan, sayur-mayur, ikan segar sangat murah. Anehnya, orang kota, menentukan harga jualan. Sebagai anak kota, Aku malu, cetus pemilik puisi “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia” ini.

Itulah sebabnya, TI dengan nada sinis mencibir “Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani, Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani..... sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian, tak pernah kami orang kota, ganti memberikan subsidi”.

TI juga melihat kecurangan pembangunan. Orang desa adalah kaum anomie oleh keserakahan pembangunan abad ini. Prioritas pembangunan mem-bubble di kota. Tanpa jelas juntrungannya, kenapa warga desa kian tersisih, terabaikan.

Lihatlah, di mana tiang listrik berakhir dan jalan beraspal berujung maka di sebelahnya, adalah kampung desa. Di mana ada penyakit dan anak buta huruf bertumpuk-tumpuk, jumlah para guru dan perawat paling sedikit. Di sanalah warga desa hidup serba menyedihkan. Aku malu, menatap wajah saudaraku!

Sementara di kota, guru membludak. Dokter dan perawat berhamburan. Air minum dan listrik berkelimpahan. Putar keran, air langsung ke mulut periuk. Tekan tombol, ruangan jadi terang benderang. Yah, serba ada, cuma di kota.


Tapi, TI bercela protes, bukankah air, listrik, beras dan sayur-mayur, kayu bangunan bahkan semua pernak-pernik kegemerlapan kota dijarah dari desa?


Inilah fenomen imperior, yang disebut Mao Zedong sebagai “kota mengepung desa” (1923). Semuanya dijarah dari desa! Tapi, warga desa dikuliti dan ditinggali tanpa ekses dan akses akseleratif yang seimbang dan manusiawi.


Bayangkan, pipa jumbo dari kota, langsung menyedot mata air orang desa. Ironisnya, orang desa terpaksa membeli air bersih ke kota. Kayu-kayu bangunan, dari rumah jabatan bupati, seharga miliyaran rupiah sampai kantor pak lurah, juga ditebang dari hutan orang desa. Tapi, orang desanya tinggal di gubuk reot.


Bahkan, bahan bakar listrik, mobil, motor, kompor, juga diboyong dari isi perut gunung orang desa. Tapi, sampai sekarang warga desa hanya diterang oleh lampu pelita. Harga minyak tanah pun meroket. Di manakah desa merdeka itu?


Semakin buruk kalau menatap nasib pendidikan. Sekolah-sekolah desa tidak perhatikan. Atap sekolah bocoran di mana-mana. Kalaupun ada program pendidikan sangat tidak masuk akal. Program buku elektronik, mobil pintar dan internet masuk desa adalah bentuk sinisme paling kejam terhadap orang desa.


Bagaimana, mobil pintar dan buku elektronik bisa masuk desa jika jalan rayanya saja, tidak ada atau jelek-jelek. Bagaimana buku elektronik dan internet bisa diunduh, jika tiang listriknya hanya terpancang di sudut kota. Lagi-lagi, program pendidikan sama sekali, tidak berpihak warga desa.


Masalah kesehatan lebih parah. Dokter, perawat, serta fasilitas kesehatan di desa kian minim. Kalau ada dokter atau perawat ditugaskan di pedesaan, tidak lama akan pindah ke kota. Sepertinya, mereka benci melayani orang kotor atau tidak merasa nyaman melayani orang miskin. Padahal, mereka digaji tinggi-tinggi. Untuk, sekian kalinya, TI berkata Aku malu!


Di ranah politik lain lagi. Pada musim pemilu tiba, entah pilih bupati, gubernur bahkan presiden maka warga desa jadi bula-bulanan. Bahkan, untuk merebut suara mereka, ritus sembah rakyat dadakkan diadakan. Tapi, setelah menjadi boss, yah, suara orang sekarat seperti ini, dianggap sampah busuk.

Karenanya, TI berontak “Petani saudaraku, Aku terpaksa mengaku, Kalian selama ini kami jadikan objek. Belum jadi subjek. Berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku malu”. Di sini TI, bak anak kecil memrotes ibunya supaya dicium, sebagaimana ibu mencium adiknya penuh hangat.

Wow..kalau ada pemimpin berjiwa besar seperti ini, mungkin kondisi kita tidak seambruk sekarang ini. Susahnya, tidak ada pemimpin yang mengakui salah, sehingga bagaimana mengoreksi kesalahan, kalau semuanya dianggap benar.

Hatiku berbisik. Apakah TI belum tahu juga, kalau begitu banyak orang desa yang mengais hidup di kota tapi justru mereka diusir dan digusur secara tidak manusiawi, hanya karena kehadiran mereka dipandang mengotori kota, terutama yang tiduran di emperan toko, atau di bawa kolong jembatan.


Memang orang desa, tempatnya di desa. Tapi, orang tidak bertanya kenapa orang desa mulai mengembara ke kota. Orang desa berlahan-lahan mengepung kota. Ketika desa menjadi kampung mati, maka TI membagi keyakinan bahwa negeri sebesar apapun akan tidak lama lagi berada di tebing kehancuran.


Petaka itu terindikasi oleh gerakan revolusi masif “Desa Mengepung Kota”(Mao Zedong). Lebih-lebih kalau, warga desa selalu dijadikan obyek, tempat parasit, komoditas politik dan dengan penuh kesadaran dilupakan.

Di ujung puisinya, TI seakan tergumpal pesimisme kepada pemimpin sekarang. Sebab, pemimpin kita seperti pemain pencak silat. Kita pikir ransek ke kiri, padahal ke kanan. Susah ditebak apa maunya.

TI cuma mendesah kepada Tuhan. “Merdekalah Desaku. Ya Tuhan, Tolonglah petani kami. Tolonglah bangsa kami. Amin”.



Penulis, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.


(Dimuat di Pos Kupang)




Saturday, July 26, 2008

JANGAN JANGAN MENYERAH!




Selalu ada 1001 alasan untuk menyerah, namun orang-orang yang berhasil adalah orang yang tidak memutuskan untuk menyerah. Dia selalu bisa menemukan sebuah alasan untuk tidak menyerah…

NANCY MATTHEWS EDISON (1810-1871)


Suatu hari, seorang bocah berusia 4 tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. ibunya membaca kertas tersebut, ” Tommy, anak ibu, sangat bodoh. kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah.”
Sang ibu terhenyak membaca surat ini, namun ia segera membuat tekad yang teguh, ” anak saya Tommy, bukan anak bodoh. saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia.”


Tommy bertumbuh menjadi Thomas Alva Edison, salah satu penemu terbesar di dunia. dia hanya bersekolah sekitar 3 bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang untuk terus maju.
Tak banyak orang mengenal siapa Nancy Mattews, namun bila kita mendengar nama Edison, kita langsung tahu bahwa dialah penemu paling berpengaruh dalam sejarah. Thomas Alva Edison menjadi seorang penemu dengan 1.093 paten penemuan atas namanya. siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah tuli yang bodoh sampai” diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius? jawabannya adalah ibunya!


Ya, Nancy Edison, ibu dari Thomas Alva Edison, tidak menyerah begitu saja dengan pendapat pihak sekolah terhadap anaknya. Nancy yang memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison dirumah, telah menjadikan puteranya menjadi orang yang percaya bahwa dirinya berarti. Nancy yang memulihkan kepercayaan diri Edison , dan hal itu mungkin sangat berat baginya. namun ia tidak sekalipun membiarkan keterbatasan membuatnya berhenti.

JOANNE KATHLEEN ROWLING

Sejak kecil, Rowling memang sudah memiliki kegemaran menulis. bahkan di usia 6 tahun, ia sudah mengarang sebuah cerita berjudul Rabbit. ia juga memiliki kegemaran tanpa malu” menunjukan karyanya kepada teman” dan orangtuanya. kebiasaan ini terus dipelihara hingga ia dewasa. daya imajinasi yang tinggi itu pula yang kemudian melambungkan namanya di dunia.


Akan tetapi, dalam kehidupan nyata, Rowling seperti tak henti didera masalah. Keadaan yang miskin, yang bahkan membuat ia masuk dalam kategori pihak yang berhak memperoleh santunan orang miskin dari pemerintah Inggris, itu masih ia alami ketika Rowling menulis seri Harry Potter yang pertama. Ditambah dengan perceraian yang ia alami, kondisi yang serba sulit itu justru semakin memacu dirinya untuk segera menulis dan menuntaskan kisah penyihir cilik bernama Harry Potter yang idenya ia dapat saat sedang berada dalam sebuah kereta api. Tahun 1995, dengan susah payah, karena tak memiliki uang untuk memfotocopy naskahnya, Rowling terpaksa menyalin naskahnya itu dengan mengetik ulang menggunakan sebuah mesin ketik manual.


Naskah yang akhirnya selesai dengan perjuangan susah payah itu tidak lantas langsung diterima dan meledak di pasaran. Berbagai penolakan dari pihak penerbit harus ia alami terlebih dahulu. Diantaranya, adalah karena semula ia mengirim naskah dengan memakai nama aslinya, Joanne Rowling.


Pandangan meremehkan penulis wanita yang masih kuat membelenggu para penerbit dan kalangan perbukuan menyebabkan ia menyiasati dengan menyamarkan namanya menjadi JK Rowling. Memakai dua huruf konsonan dengan harapan ia akan sama sukses dengan penulis cerita anak favoritnya CS Lewis.


Akhirnya keberhasilan pun tiba. Harry Potter luar biasa meledak dipasaran. Semua itu tentu saja adalah hasil dari sikap pantang menyerah dan kerja keras yang luar biasa. tak ada kesuksedan yang dibayar dengan harga murah.

STEVE JOBS

Tahun 1976, bersama rekannya Steve Wozniak, Jobs yang baru berusia 21 tahun mulai mendirikan Apple Computer Co. di garasi milik keluarganya. Dengan susah payah mengumpulkan modal yang diperoleh dengan menjual barang-barang mereka yang paling berharga, usaha itu pun dimulai. Komputer pertama mereka, Apple 1 berhasil mereka jual sebanyak 50 unit kepada sebuah toko lokal.


Dalam beberapa tahun, usaha mereka cukup berkembang pesat sehingga tahun 1983, Jobs menggaet John Sculley dari Pepsi Cola untuk memimpin perusahaan itu. Sampai sejauh itu, Apple Computer menuai kesuksesan dan makin menancapkan pengaruhnya dalam industri komputer terlebih dengan diluncurkannya Macintosh. Namun, pada tahun 1985, setelah konflik dengan Sculley, perusahaan memutuskan memberhentikan pendiri mereka, yaitu Steve Jobs sendiri.


Setelah menjual sahamnya, Jobs yang mengalami kesedihan luar biasa banyak menghabiskan waktu dengan bersepeda dan berpergian ke Eropa. Namun, tak lama setelah itu, pemecatan tersebut rupanya justru membawa semangat baru bagi dirinya. Ia pun memulai usaha baru yaitu perusahaan komputer NeXT dan perusahaan animasi Pixar. NeXT yang sebenarnya sangat maju dalam hal teknologinya ternyata tidak membawa hasil yang baik secara komersil.


Akan tetapi, Pixar adalah sebuah kisah sukses lain berkat tangan dinginnya. Melalui Pixar, Jobs membawa trend baru dalam dunia film animasi seiring dengan diluncurkannya film produksinya Toy Story dan selanjutnya Finding Nemo dan The Incredibles.
Sepeninggal Jobs dan semakin kuatnya dominasi IBM dan Microsoft membuat Apple kalah bersaing dan nyaris terpuruk. Maka, tahun 1997, Jobs dipanggil kembali untuk mengisi posisi pimpinan sementara. Dengan mengaplikasi teknoligi yang dirancang di NeXT, kali ini Apple kembali bangkit dengan berbagai produk berteknologi maju macam MacOS X, IMac dan salah satu yang fenomenal yaitu iPod.


Kisah sukses Steve Jobs mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada kesuksesan yang instan. penolakan dan kegagalan seringkali mewarnai perjalanan hidup kita, tapi jangan biarkan semua itu membuat kita berhenti.

OPRAH WINFREY

Bermodal keberanian “Menjadi Diri Sendiri”, Oprah menjadi presenter paling populer di Amerika dan menjadi wanita selebritis terkaya versi majalah Forbes, dengan kekayaan lebih dari US $ 1 Milyar. Copy acara “The Oprah Winfrey Show” telah diputar di hampir seluruh penjuru bumi ini.


Lahir di Mississisipi dari pasangan Afro-Amerika dengan nama Oprah Gail Winfrey. Ayahnya mantan serdadu yang kemudian menjadi tukang cukur, sedang ibunya seorang pembantu rumah tangga. Karena keduanya berpisah maka Oprah kecil pun diasuh oleh neneknya di lingkungan yang kumuh dan sangat miskin. Luarbiasanya, di usia 3 tahun Oprah telah dapat membaca Injil dengan keras.


“Membaca adalah gerai untuk mengenal dunia” katanya dalam suatu wawancaranya.
Pada usia 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan sexual, dia diperkosa oleh saudara sepupu ibunya beserta teman-temannya dan terjadi berulang kali. Di usia 13 tahun Oprah harus menerima kenyataan hamil dan melahirkan, namun bayinya meninggal dua minggu setelah dilahirkan.


Setelah kejadian itu, Oprah lari ke rumah ayahnya di Nashville. Ayahnya mendidik dengan sangat keras dan disiplin tinggi. Dia diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap pekan. Walaupun tertekan berat, namun kelak disadari bahwa didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri dan berdisiplin tinggi.
Prestasinya sebagai siswi teladan di SMA membawanya terpilih menjadi wakil siswi yang diundang ke Gedung Putih. Beasiswa pun di dapat saat memasuki jenjang perguruan tinggi. Oprah pernah memenangkan kontes kecantikan, dan saat itulah pertama kali dia menjadi sorotan publik..


Karirnya dimulai sebagai penyiar radio lokal saat di bangku SMA. Karir di dunia TV di bangun diusia 19 tahun. Dia menjadi wanita negro pertama dan termuda sebagai pembaca berita stasiun TV lokal tersebut. Oprah memulai debut talkshow TVnya dalam acara People Are Talking. Dan keputusannya untuk pindah ke Chicago lah yang akhirnya membawa Oprah ke puncak karirnya. The Oprah Winfrey Show menjadi acara talkshow dengan rating tertinggi berskala nasional yang pernah ada dalam sejarah pertelevisian di Amerika. Sungguh luar biasa!


Latar belakang kehidupannya yang miskin, rawan kejahatan dan diskriminatif mengusik hatinya untuk berupaya membantu sesama. Tayangan acaranya di telivisi selalu sarat dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. Oprah sadar, bila dia bisa mengajak seluruh pemirsa telivisi, maka bersama, akan mudah mewujudkan segala impiannya demi membantu mereka yang tertindas.


Oprah juga dikenal dengan kedermawanannya. Berbagai yayasan telah disantuni, antara lain, rumah sakit dan lembaga riset penderita AIDs, berbagai sekolah, penderita ketergantungan, penderita cacat dan banyak lagi.


Dan yang terakhir, pada 2 januari 2007 lalu, Oprah menghadiri peresmian sekolah khusus anak-anak perempuan di kota Henley-on-Klip, di luar Johannesburg, Afrika selatan, yang didirikannya bersama dengan pemirsa acara televisinya. Oprah menyisihkan 20 juta pounsterling ( 1 pons kira2 rp. 17.000,-) atau 340 milyiar rupiah dari kekayaannya. “Dengan memberi pendidikan yang baik bagi anak2 perempuan ini, kita akan memulai mengubah bangsa ini” ujarnya berharap.


Kisah Oprah Winfrey ialah kisah seorang anak manusia yang tidak mau meratapi nasib. Dia berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan dia berhasil. Dia punya mental baja dan mampu mengubah nasib, dari kehidupan nestapa menjadi manusia sukses yang punya karakter. Semangat perjuangannya pantas kita teladani!

7UP


Anda tentu mengenal 7up. Merk softdrink rasa jeruk nipis ini terbilang cukup populer di penjuru dunia. Dibalik ketenaran merk 7up rupanya ada kisah yang sangat menarik untuk kita pelajari tentang arti “pantang menyerah”.


Awal mulanya perusahaan ini mengambil nama 3up sebagai merek sodanya. Namun sayangnya, usaha ini gagal. Kemudian si pendiri kembali memperjuangkan bisnisnya dan mengganti namanya dengan 4up. Malangnya, produk ini pun bernasib sama dengan sebelumnnya. Selanjutnya dia berusaha bangkit lagi dan mengganti lagi namanya menjadi 5up. Gagal lagi. Kecintaanya pada soda membuatnya tak menyerah dan berusaha lagi dengan nama baru 6up. Produk ini pun gagal dan dia pun menyerah.


Beberapa tahun kemudian, orang lain muncul dan membuat soda dengan nama 7up dan mendapat sukses besar! Mungkin kita tidak tahu kapan usaha kita akan membuahkan hasil, tapi suatu saat nanti pastilah waktu itu akan tiba. Justru karena kita ga tahu kapan waktu keberhasilan kita, maka jangan pernah kita menghentikan usaha kita dan memutuskan untuk menyerah. 3up gagal, buatlah 4up! 4up gagal, dirikan 5up! bahkan meski harus muncul 6up, 7up, 8up, atau 100up sekalipun, jangan pernah berhenti sampai jerih payah kita membuahkan hasil.


Percayalah bahwa Tuhan menghargai usaha kita. keberhasilan tidak datang pada orang yang malas berjuang dan gampang menyerah. Tunjukan kualitas iman kita melalui ketekunan kita dalam berjuang! TETAP SEMANGAT!

MARK ZUCKERBERG (FACEBOOK)


Pernah mendengar situs jaringan pertemanan Friendster? Konon, melalui situs tersebut, banyak orang-orang yang lama tak bersua, bisa kembali bersatu, reunian, dan bahkan berjodoh. Karena itulah, situs pertemanan itu beberapa waktu lalu sempat sangat popular. Karena itu, tak heran jika setelah era suksesnya Friendster, berbagai situs jaringan pertemanan bermunculan. Salah satunya adalah Facebook.


Facebook ini sebenarnya dibuat sebagai situs jaringan pertemanan terbatas pada kalangan kampus pembuatnya, yakni Mark Zuckerberg. Mahasiswa Harvard University tersebut-kala itu-mencoba membuat satu program yang bisa menghubungkan teman-teman satu kampusnya. Karena itulah, nama situs yang digagas oleh Mark adalah Facebook. Nama ini ia ambil dari buku Facebook, yaitu buku yang biasanya berisi daftar anggota komunitas dalam satu kampus. Pada sejumlah college dan sekolah preparatory di Amerika Serikat, buku ini diberikan kepada mahasiswa atau staf fakultas yang baru agar bisa lebih mengenal orang lain di kampus bersangkutan.


Pada sekitar tahun 2004, Mark yang memang hobi mengotak-atik program pembuatan website berhasil menulis kode orisinal Facebook dari kamar asramanya. Untuk membuat situs ini, ia hanya butuh waktu sekitar dua mingguan. Pria kelahiran Mei 1984 itu lantas mengumumkan situsnya dan menarik rekan-rekannya untuk bergabung. Hanya dalam jangka waktu relatif singkat-sekitar dua minggu-Facebook telah mampu menjaring dua per tiga lebih mahasiswa Harvard sebagai anggota tetap.


Mendapati Facebook mampu menjadi magnet yang kuat untuk menarik banyak orang bergabung, ia memutuskan mengikuti jejak seniornya-Bill Gates-memilih drop out untuk menyeriusi situsnya itu. Bersama tiga rekannya-andre McCollum, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes-Mark kemudian membuka keanggotaan Facebook untuk umum.

Mark ternyata tak sekadar nekad. Ia punya banyak alasan untuk lebih memilih menyeriusi Facebook. Mark dan rekannya berhasil membuat Facebook jadi situs jaringan pertemanan yang segera melambung namanya, mengikuti tren Friendster yang juga berkembang kala itu.


Namun, agar punya nilai lebih, Mark pun mengolah Facebook dengan berbagai fitur tambahan. Dan, sepertinya kelebihan fitur inilah yang membuat Facebook makin digemari.
Bayangkan, Ada 9.373 aplikasi yang terbagi dalam 22 kategori yang bisa dipakai untuk menyemarakkan halaman Facebook, mulai chat, game, pesan instan, sampai urusan politik dan berbagai hal lainnya. Hebatnya lagi, sifat keanggotaan situs ini sangat terbuka. Jadi, data yang dibuat tiap orang lebih jelas dibandingkan situs pertemanan lainnya. Hal ini yang membuat orang makin nyaman dengan Facebook untuk mencari teman, baik yang sudah dikenal ataupun mencari kenalan baru di berbagai belahan dunia.


Sejak kemunculan Facebook tahun 2004 silam, anggota terus berkembang pesat. Prosentase kenaikannya melebihi seniornya, Friendster. Situs itu tercatat sudah dikunjungi 60 juta orang dan bahkan Mark Zuckerberg berani menargetkan pada tahun 2008 ini, angka tersebut akan mencapai 200 juta anggota.


Dengan berbagai keunggulan dan jumlah peminat yang luar biasa, Facebook menjadi ‘barang dagangan’ yang sangat laku. Tak heran, raksasa software Microsoft pun tertarik meminangnya. Dan, konon, untuk memiliki saham hanya 1,6 persen saja, Microsoft harus mengeluarkan dana tak kurang dari US$ 240 juta. Ini berarti nilai kapitalisasi saham Facebook bisa mencapai US$15 miliar! Tak heran, Mark kemudian dinobatkan sebagai miliarder termuda dalam sejarah yang memulai dari keringatnya sendiri.


Niat Mark Zuckerberg untuk sekadar’menyatukan’ komunitas kampusnya dalam sebuah jaringan ternyata berdampak besar. Hal ini telah mengantar pria yang baru berusia 23 tahun ini menjadi miliarder termuda dalam sejarah. Sungguh, kejelian melihat peluang dan niatan baiknya ternyata mampu digabungkan menjadi sebuah nilai tambah yang luar biasa. Ini menjadi contoh bagi kita, bahwa niat baik ditambah perjuangan dan ketekunan dalam menggarap peluang akan melahirkan kesempatan yang dapat mengubah hidup makin bermakna. TIADA KETEKUNAN YANG TIDAK MEMBAWA HASIL…

BILL GATES & PAUL ALLEN


William Henry Gates III atau lebih terkenal dengan sebutan Bill Gates, lahir di Seatle , Washington pada tanggal 28 Oktober 1955. Ayah Bill, Bill Gates Jr., bekerja di sebuah firma hukum sebagai seorang pengacara dan ibunya, Mary, adalah seorang mantan guru. Bill adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil Bill mempunyai hobi “hiking”, bahkan hingga kini pun kegiatan ini masih sering dilakukannya bila ia sedang “berpikir”.


Bill kecil mampu dengan mudah melewati masa sekolah dasar dengan nilai sangat memuaskan, terutama dalam pelajaran IPA dan Matematika. Mengetahui hal ini orang tua Bill, kemudian menyekolahkannya di sebuah sekolah swasta yang terkenal dengan pembinaan akademik yang baik, bernama ” LAKESIDE “. Pada saat itu, Lakeside baru saja membeli sebuah komputer, dan dalam waktu seminggu, Bill Gates, Paul Allen dan beberapa siswa lainnya (sebagian besar nantinya menjadi programmer pertama MICROSOFT) sudah menghabiskan semua jam pelajaran komputer untuk satu tahun.


Kemampuan komputer Bill Gates sudah diakui sejak dia masih bersekolah di Lakeside . Dimulai dengan meng”hack” komputer sekolah, mengubah jadwal, dan penempatan siswa. Tahun 1968, Bill Gates, Paul Allen, dan dua hackers lainnya disewa oleh Computer Center Corp. untuk menjadi tester sistem keamanan perusahaan tersebut. Sebagai balasan, mereka diberikan kebebasan untuk menggunakan komputer perusahaan. Menurut Bill saat itu lah mereka benar-benar dapat “memasuki” komputer. Dan disinilah mereka mulai mengembangkan kemampuan menuju pembentukan Microsoft, 7 tahun kemudian.


Selanjutnya kemampuan Bill Gates semakin terasah. Pembuatan program sistem pembayaran untuk Information Science Inc, merupakan bisnis pertamanya. Kemudian bersama Paul Ellen mendirikan perusahaan pertama mereka yang disebut Traf-O-Data. Mereka membuat sebuah komputer kecil yang mampu mengukur aliran lalu lintas. Bekerja sebagai debugger di perusahaan kontrkator pertahanan TRW, dan sebagai penanggungjawab komputerisasi jadwal sekolah, melengkapi pengalaman Bill Gates.


Musim gugur 1973, Bill Gates berangkat menuju Harvard University dan terdaftar sebagai siswa fakultas hukum. Bill mampu dengan baik mengikuti kuliah, namun sama seperti ketika di SMA, perhatiannya segera beralih ke komputer. Selama di Harvard, hubungannya dengan Allen tetap dekat. Bill dikenal sebagai seorang jenius di Harvard. Bahkan salah seorang guru Bill mengatakan bahwa Bill adalah programmer yang luar biasa jenius, namun seorang manusia yang menyebalkan.


Desember 1974, saat hendak mengunjungi Bill Gates, Paul Allen membaca artikel majalah Popular Electronics dengan judul “World`s First Microcomputer Kit to Rival Commercial Models”. Artikel ini memuat tentang komputer mikro pertama Altair 9090. Allen kemudian berdiskusi dengan Bill Gates. Mereka menyadari bahwa era “komputer rumah” akan segera hadir dan meledak, membuat keberadaan software untuk komputer - komputer tersebut sangat dibutuhkan. Dan ini merupakan kesempatan besar bagi mereka.


Kemudian dalam beberapa hari, Gates menghubungi perusahaan pembuat Altair, MITS (Micro Instrumentation and Telemetry Systems). Dia mengatakan bahwa dia dan Allen, telah membuat BASIC yang dapat digunakan pada Altair. Tentu saja ini adalah bohong. Bahkan mereka sama sekali belum menulis satu baris kode pun. MITS, yang tidak mengetahui hal ini, sangat tertarik pada BASIC. Dalam waktu 8 minggu BASIC telah siap. Allen menuju MITS untuk mempresentasikan BASIC. Dan walaupun, ini adalah kali pertama bagi Allen dalam mengoperasikan Altair, ternyata BASIC dapat bekerja dengan sempurna. Setahun kemudian Bill Gates meninggalkan Harvard dan mendirikan Microsoft.


Kisah Bill Gates Meninggalkan Harvard Demi Mengejar Impian

Ketika ia bosan dengan Harvard, Gates melamar pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan komputer di daerah Boston .. Gates mendorong Paul Allen untuk mencoba melamar sebagai pembuat program di Honey-well agar keduanya dapat melanjutkan impian mereka untuk mendirikan sebuah perusahaan perangkat lunak.


Pada suatu hari di bulan Desember yang beku, Paul Allen melihat sampul depan majalah Popular Mechanics, terbitan Januari 1975, yaitu gambar komputer mikro rakitan baru yang revolusioner MITS Altair 8080 (Komputer kecil ini menjadi cikal bakal PC di kemudian hari). Kemudian Allen menemui Gates dan membujuknya bahwa mereka harus mengembangkan sebuah bahasa untuk mesin kecil sederhana itu. Allen terus mengatakan, Yuk kita dirikan sebuah perusahaan. Yuk kita lakukan.


Kami sadar bahwa revolusi itu bisa terjadi tanpa kami. Setelah kami membaca artikel itu, tak diragukan lagi dimana kami akan memfokuskan hidup kami.
Kedua sahabat itu bergegas ke sebuah komputer Harvard untuk menulis sebuah adaptasi dari program bahasa BASIC. Gates dan Allen percaya bahwa komputer kecil itu dapat melakukan keajaiban. Dari sana pula mereka mempunyai mimpi, tersedianya sebuah komputer di setiap meja tulis dan di setiap rumah tangga.


Semangat Allen dan Gates tidak percuma. Berawal dari komputer kecil itulah yang menjadi mode dari segala macam komputansi. Dan sekarang bisa Anda lihat bahwa PC telah benar-benar menjadi alat jaman informasi. Dan hampir setiap orang mengenal Bill Gates sebagai orang terkaya di dunia saat ini.

HIRONOBU SAKAGUCHI

Hironobu Sakaguchi (1962) dulu menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan untuk Square Co., Ltd. Ia adalah pencipta seri permainan Final Fantasy. Pada tahun 1991 ia diberi kehormatan menjabat Wakil Presiden Eksekutif dan tak lama berselang ditunjuk menjadi Presiden Square USA, Inc. Pada tahun 2001, ia mendirikan he Mistwalker, yang mulai beroperasi tiga tahun kemudian.


Sakaguchi bersama-sama Masafumi Miyamoto mendirikan Square pada tahun 1983. Permainan-permainan pertama mereka sangat tidak sukses. Ia lalu memutuskan untuk menciptakan pekerjaan terakhirnya dalam industri permainan dengan seluruh sisa uang Square, dan menamakannya Final Fantasy. Permainan ini, di luar perkiraannya sendiri, ternyata melejit, dan ia membatalkan rencana pensiunnya. Ia kemudian memulai kelanjutan permainan ini dan saat ini telah dibuat Tiga belas permainan Final Fantasy. Setelah enam permainan pertama dipasarkan, ia lebih berperan sebagai produser eksektuif untuk seri ini dan juga banyak permainan Square lainnya.


Sakaguchi memiliki karir yang panjang dalam industri permainan dengan penjualan lebih dari 80 juta unit permainan video di seluruh dunia. Sakaguchi mengambil lompatan dari permainan ke film saat ia mengambil peran sebagai sutradara film dalam Final Fantasy: The Spirits Within, sebuah film animasi yang didasari dari seri permainan terkenalnya Final Fantasy. Akan tetapi, film ini ternyata gagal dan menjadi salah satu film yang paling merugi dalam sejarah perfilman, dengan kerugian lebih dari 120 juta USD yang berujung dengan ditutupnya Square Pictures.


Sakaguchi lalu diturunkan dari posisi eksekutif Square. Kejadian ini juga mengurangi keuangan Square dan akhirnya membawa Square bergabung dengan saingannya Enix, menjadi Square Enix. Sakaguchi lalu mengundurkan diri dari Square dan mendirikan Mistwalker dengan dukungan finansial dari Microsoft Game Studios.

Pada tahun 2001, Sakaguchi menjadi orang ketiga yang masuk dalam Academy of Interactive Arts and Science’ Hall of Fame. Pada bulan Februari 2005 diumumkan bahwa perusahaan Sakaguchi, Mistwalker, akan bekerja sama dengan Microsoft Game Studios untuk memproduksi dua permainan role-playing game untuk Xbox 360.


Pelajaran berharga: Dari awal karier, beliau banyak mengalami kegagalan, namun beliau tidak pernah menyerah hingga akhirnya menciptakan seri “Final Fantasy” yang sangat di nantikan kehadirannya, bahkan di puncak kariernya beliau kembali menghadapi kegagalan melalui proyek kontroversialnya (Final Fantasy : Spirit Whitin) yang mengakibatkan penurunan jabatan dan penutupan “Square Pictures” hingga akhirnya pengunduran dirinya dari Square.
Namun itu bukan akhir dari beliau, tapi menjadi loncatan bagi dia untuk kembali bangkit.

Sunday, July 20, 2008

PALING ENAK JADI KORUPTOR NTT



Fidel Hardjo

Paling enak menjadi koruptor di NTT! Karena, hampir 90 % para koruptor dijamin lolos. Lolos dari jeratan hukum dan bebas dijebloskan di penjara” (Maria Margaretha Hartiningsih, Wartawati senior Kompas).


Usia NTT hampir 50 tahun, tapi seberapa banyak koruptor yang sudah ditangkap? Apa 10, 100, atau 1000? Mungkin tak lebih dari jumlah jari tangan. Mungkin tepat ekspresi satiris Hartiningsih di atas, enaknya jadi koruptor di NTT.



Jika demikian, apa tidak baik kalau kita perlu reevaluasi model penanganan korupsi di daerah kita. Baiklah kita lebih rendah hati, mengaku bahwa kita memang tidak serius menanganinya. Terkesan, tangkap koruptor hanya gertak sambal! Solusi seperti ini, kurang lebih sama tiap kemunculan pemimpin baru.



Hasilnya seperti sekarang. Para koruptor tampil lebih heroik, vulgar dan rakus. Implikasinya, NTT tercinta ini hanya mampu meraih rangking korup dan miskin.



Rangking Korup dan Miskin



Sejak tahun 2003 sampai 2007, sebagaimana hasil audit BPKP provinsi NTT, yang dipublikasi 30 Mei 2007 bahwa total kerugian negara akibat korupsi di NTT sebesar Rp17.633.400.730 dari 1.967 kasus korupsi yang dideteksi.



Dari 1.967 kasus, sebanyak 1.080 kasus sudah ditindaklanjuti dan total kerugian negara sebesar Rp50.061.226.820. Sementara, sebanyak 887 kasus belum dituntaskan, dengan total kerugian negara sebesar Rp17.633.400.680.



Kasus korupsi ini menyebar secara sporadis di 16 kota/kabupaten. Jika dirincikan per kabupaten/kota, tertinggi di tingkat provinsi terdapat 239 kasus dengan indikasi kerugian negara Rp5.007.695.849; TTU(73 kasus-kerugian Rp2.177.528.592); TTS(109 kasus-kerugian Rp1.984.437.629); Sikka(57 kasus-kerugian Rp1.522.773.445); Manggarai(37 kasus-kerugian Rp1.445.318.081); Alor(51 kasus-kerugian Rp1.189.084.790); Lembata(33 kasus-kerugian Rp958.446.407); Kupang (33 kasus-kerugian Rp682.379.281); Sumba Timur (28 kasus-kerugian Rp641.508.991); Ende(45 kasus-kerugian Rp515.958.050); Belu (43 kasus-kerugian Rp305.431.079); Sumba Barat(46 kasus-kerugian Rp248.128.986); Ngada(22 kasus-kerugian Rp208.943.786); Flores Timur(23 kasus-kerugian Rp200.751.733); Kota Kupang(29 kasus-kerugian Rp199.978.348); Rote-Ndao(16 kasus-kerugian Rp199.250.808); dan Manggarai Barat(3 kasus-kerugian Rp155.781.841).



Mau diapakan dengan data telanjang ini? Dari data dan faktum ini maka pantaslah, ICW menempatkan NTT rangking ke enam terkorup di Indonesia setelah posisi Riau dan urutan ke empat provinsi termiskin se-Nusantara dengan total penduduk miskinya tahun 2007, sebanyak 1,16 juta jiwa atau 27,51% dari 4 juta jiwa penduduk NTT.



Data korupsi ini sangat mengecewakan publik. Lebih kecewa lagi, ketika Gubernur Baru mengadakan rapat awal kordinasi dengan para Bupati (PK, 18/7/08) tidak diagendakan ikhwal pemberantasan korupsi. Ini preseden sangat buruk, kita sangat gagal memerangi korupsi. Kita gagal bukan karena kita tidak bisa tetapi moral lembek mengurus persoalan urgent ini. Ada apa sebenarnya?



Bukankah kita punya hakim profesional? Mana polisi kita yang pintar-pintar. Di mana KPKD yang cerdik? Mereka ini adalah aparatur negara, yang tentunya sudah dipilih dengan kriterium check and balances, yang sangat luar biasa. Mereka ini adalah “orang terpilih” dari sekian ribu pelamar yang selalu gagal ikut testing setiap tahun. Mengapa kinerja mereka tidak membuahkan hasil?



Memang menangkap koruptor tidak mudah. Karena itu, kita sudah seleksi sedemikian rupa para hakim, polisi, dan KPK yang lebih pintar, intelegen, cerdik, pandai dan jujur daripada para koruptor, pencuri dan perampok kelas kakap.



Bandit Lebih Pintar?



Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2003) menggagaskan bahwa koruptor sekarang lebih pintar dari intelegen di bumi ini, di AS, Jerman, Jepang, Cina sekalipun, apalagi di NTT. Karena itu, Olson lebih menyebut koruptor sebagai “keparat bandit” .



Mengapa? Karena memang bekerja sebagai bandit profesional. Kendatipun dari kulit luar mereka kelihatan wibawa, suci, patriotisme, nasionalisme dan religiusme tapi sesungguhnya mereka keparat bandit. Gerombolan bandit ini lebih terampil daripada badan intelegen.



Olson mengklasifikasi bandit atas dua macam yaitu stationary bandits (bandit menetap) dan roving bandits (bandit mengembara). Dua-duanya sama-sama bejat dan rakus. Tapi, kedua-duanya punya perbedaan yang mencolok.



Pertama, bandit menetap. Bandit ini menetap di suatu tempat, entah di kantor, istana, rumah, tempat suci bahkan di tempat yang paling kotor sekalipun. Mereka tidak mengembara tapi punya otoritas. Sekalipun mereka tidak mengembara untuk menjarah tapi mereka lebih pintar mencuri dan merampas.



Bandit ini punya seribu satu kaki tangan. Jaringan dan cara mereka mencuri dan merampas sangat rahasia. Orang yang ingin memanfaatkan kuasa mereka, sudah tahu tipe dan mau-maunya bandit ini. Karena itu, mereka akan memberi semacam “upeti” secara rahasia dan profesional, agar kedua pihak tidak terperangkap dalam jeratan hukum dan takterdeteksi polisi di kemudian hari.



Kedua, bandit mengembara. Bandit ini mengembara di mana-mana, entah di kota maupun di desa, di jalan-jalan, pasar, pelabuhan, hotel, toko, restauran dan dari ke rumah ke rumah. Bandit ini selain mencuri uang, harta, juga memerkosa perempuan dan menculik anak-anak. Mereka sulit ditangkap karena kadang mereka bekerja sama dengan bandit menetap, yang penting jarahan dibagi dua.



Sepakat atau tidak, kedua jenis bandit ini juga menetap dan mengembara di Nusa Flobamora ini. Bandit yang menetap dan mengembara ini bergerak di seluruh lini baik di kantor, jalan, hotel, kampung, pasar dan di tempat kotor maupun di tempat suci sekalipun. Mereka terus beroperasi tanpa rasa berdosa.



Jadi, asumsinya sejak tahun 2003-2007 sebanyak Rp17.633.400.730, uang rakyat NTT dicuri oleh kedua jenis bandit di atas. Padahal, jumlah realisasi PAD NTT sejak 2003-2007 sebesar 592 Miliar; (2003 Rp94,3 M) (2004, Rp123,6 M), (2005 Rp140,6 M), (2006 Rp175,9 M), (2007,Rp198,2 M). Hanya, berdasarkan survai BPKP NTT, dari sekian defisit negara di atas, tak satupun koruptor dijebloskan ke penjara. Enaknya jadi koruptor NTT!



Artinya, dengan data ini, kita tahu bahwa ternyata tidak sedikit uang rakyat tergelontor di saku para bandit ini. Angka yang sangat fantastik. Masuk akal, kenapa NTT menyandang akronim provinsi Nusa Tetap Termiskin. Sesukses apapun kita “merayakan” demokrasi kalau para bandit ini terus bergentayangan maka harapan rakyat sejahtera semakin sulit digenggam.



Tangkap Para Bandit



Koruptor adalah bandit. Inilah prioritas kita, tangkap para bandit ini, baik yang menetap maupun yang sedang mengembara. Kita perlu mengagendakan pemberantasan para bandit, yang hidup foya-foya di atas penderitaan rakyat. Ini program yang sangat urgen, sebelum menggagaskan program brilian lainnya.



Kalau Presiden SBY dalam program 100 harinya, menggelar aksi penangkapan korupsi, lalu kenapa Gubernur Frans Leburaya tidak mengikuti jejak baik ini. Bukan sekadar ikut-ikutan tapi memang kita butuh program brilian ini. Ini yang ditunggu rakyat dari dulu-dulu. Rakyat sudah jenuh dengan aksi para bandit ini.



Apa artinya paradigma “Anggur Merah” kalau dana-dana itu mengalir ke tangan para bandit ini. Sebanyak apapun uang dan program seperti pementasan kemiskinan, buta huruf, kesehatan, pembangunan ekonomi dan infrastruktur daerah kalau toh akhirnya uang itu mengendap leluasa di dompet para bandit ini.



Kita juga mesti terbuka dengan fenomen ganjil bahwa bisa saja hakim, polisi dan KPKD bekerja sama dengan para bandit seperti kasus Artalita di Jakarta. Jika demikian, kita juga perlu borgol para hakim, polisi dan KPK yang nakal ini.



Akhirnya, selagi para bandit ini dibiarkan berkeliaran di NTT, sepanjang itu juga kemiskinan dan penderitaan rakyat tidak berubah. Kalau KPKD, Hakim dan Polisi kita kurang mampu dan belum profesional menangkap para bandit ini, maka kita mesti berjiwa besar untuk mengundang atau membayar KPK Jakarta. Jangan biarkan provinsi ini terengkuh di bawa bola kerakusan keparat bandit ini.



Saya pikir rakyat mendukung dengan sangat antusias jika Gubernur Baru meletakkan agenda utamanya untuk menangkap para bandit ini. Seberapapun mahal ongkosnya, kita mesti tangkap para bandit ini. Buktikan, provinsi NTT tidak akan takluk di bawah slogan keparat bandit: paling enak jadi koruptor NTT!



Penulis, Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila

(Dimuat Di Pos Kupang)
















Tuesday, July 8, 2008

“TREN BUNUH DIRI”, ADA APA?



Fidel Hardjo


Dada kita mendadak sesak, seperti dihunjam palu godam teramat berat membaca berita menyedihkan. Ibu membunuh anak lalu bunuh diri – siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian - setidaknya, menurut dokomentasi Pos Kupang, sejak tahun 2008 sudah ada sembilan kasus bunuh diri (PK, 4/7/2008).

Memilih jalan tragis bunuh diri semacam tren. Apa yang ganjil dengan masyarakat kita? Mengapa mereka mudah putus asa, suka jalan pintas mengakhiri hidup yang sumpek, dan tidak tegar menghadapi masalah?

Bunuh diri adalah problem sekaligus realitas “ad infinitum” (baca: tanpa akhir). Sejak jaman Aristoteles, Plato, Durkheim, Weber, Marx bahkan sampai sekarang persoalan bunuh diri itu terus dianalisis (“dipertanyakan”).

Mengapa Bunuh diri?

Aristoteles melihat akar bunuh diri sebagai kerapuhan “political grounds” yang kontra-kondusif, menyebabkan individu bunuh diri. Situasi politik yang depresif, hopeless dan worthless menggiring individu menuju pembunuhan diri.

Plato justru menuding kerapuhan “religious grounds” sebagai penyebabnya. Bunuh diri diyakini destini hidup yang sudah digariskan oleh dewa. Ini adalah keyakinan ekstrem dari iman. Dengan menghabisi hidup duniawi, individu “dijanjikan” akan berkanjang bestari dalam komunitas dewa (surgawi).

Analisis kedua filsuf besar ini, tidak sepenuhnya benar.Tapi, dengan mempelajari cirkumtans, fakta, alasan, surat, pesan, informasi, tingkah laku si korban, baik sebelum maupun sesudah bunuh diri, “sedikitnya” menggaungkan kebenaran.

Pertama, pada umumnya korban bunuh diri karena keterpaksaan. Terpaksa bunuh diri karena utang melilit, harga sembako mencekik leher, ongkos pendidikan dan kesehatan yang mahal, gagal ujian dan lapangan kerja minim (plus gagal bercinta).

Hanya, siapa yang umumkan harga sembako naik? Siapa yang mengatur biayai pendidikan dan kesehatan naik? Siapa yang menetapkan UN? Siapa yang membuat arena politik tidak kondusif? Siapakah memicu gerakan demonstrasi?

Sekali lagi siapa? Inilah sari pemahaman Aristoteles. Di mana, kerapuhan “ dasar politik” lapisan bawa sebagai sebab musabab aksioma pembunuhan diri.

Carut-marut politisi dan kondisi politik yang kotor, menyebabkan rakyat tak terurus dan jatuh tersungkur dalam kotak kemiskinan (hopeless - worthless – helpness) maka jalan menuju bunuh diri terbuka lebar (Durkheim).

Kedua, faktor religius (agama) juga turut berpengaruh. Lihat saja, dari surat, pesan atau wasiat si korban bunuh diri. Umumnya, korban (terkesan) begitu dekat dan pasrah kepada Tuhan. Bahkan, percaya bahwa, setelah bunuh diri itu ada kedamaian dan ketenangan abadi (plus masuk surga).

Keyakinan ini yang disebut Plato sebagai, kerapuhan “dasar religius” lapisan bawa, yang memicu pilihan bunuh diri. Mungkin, itulah sebabnya Nietzsche mengejek keras, agama sebagai opium, pil penenang dan pelarian irasional.

Setidaknya, kedua pemikiran di atas bisa dipakai sebagai pisau analisis untuk membedah tren aksi bunuh diri yang mengejutkan kita saat ini. Kita tergagap-gagap, koq sudah sembilan korban! Hitung korban macam hitung biji kemiri.

Pertama, kemiskinan kronis telah menyebabkan tak sedikit warga kita suka main pinjam uang. Pinjam uang, entah untuk biayai pendidikan anak, biaya kesehatan, urusan belis, pesta sambut baru/nikah bahkan beli beras pada musim lapar. Jadinya, utang di mana-mana!

Yang berbahaya adalah di sana tengkulak beroperasi bebas. Bunga pinjaman uang pun tidak enteng-enteng. Mau apa dikata. Namanya, butuh uang karena itu, ada ibu atau bapak nekad pinjam, apapun resikonya. Taruhannya saat panen.

Belakangan, di luar dugaan, cuaca berubah drastis. Maka, panen gagal total dan pada saat itulah tengkulak menagih utang. Siapa tidak malu kalau setiap saat para tengkulak datang menuntut utangnya dibayar. Apalagi jika diketahui oleh tetangga sebelah. Dari sinilah potensi bunuh diri berkecembah di ubun.

Situasi batas itu diperuncing, oleh pemahaman iman yang keliru. (Mungkin) Sebatas dengar ajaran agama tentang ada kehidupan setelah kematian. Padahal, tak satupun agama yang mencintai kematian apalagi dengan jalan membunuh diri. Paling-paling, ada kehidupan setelah kematian.

Oleh sebab itu, kedua landasan dasar ini, yang menjadi kekuatan manusia yaitu aspek badaniah dan rohaniah. Urusan badaniah “dipercayakan” kepada negara dan rohaniah “dipercayakan” kepada agama. Namun, mengapa dan mengapa aksi bunuh diri terus bergentanyangan?

Ruang Bertanya

Pertama, bagaimanapun inilah ruang refleksi bagi pemerintah, bagaimana mengatasi kemiskinan rakyat. Terutama, agar rakyat tidak dililiti oleh banyak utang dengan tengkulak busuk. Mungkin, saatnya kehidupan koperasi perlu digalakan, seperti mengukir kejayaan koperasi desa tahun 80-an.

Bagi orang kaya dan berpendidikan mungkin bisa pinjam uang ke bank tapi rakyat kecil, yang melihat kantor bank saja sudah gugup, apalagi masuk ke dalam kantor itu, pasti lebih takut. Ini masalah sepeleh. Tapi, akibatnya sangat serius. Lalu, siapa yang membantu menyadarkan orang-orang kecil seperti ini?

Kedua, pendidikan karakter itu penting. Pemerintah sebagai stakeholder pendidikan daerah semestinya lebih berkreatif mengembangkan pendidikan berkarakter. Hindu Dharma menyebut tiga poin utama pendidikan karakter yaitu “pembelajaran” (learning) tentang baik-buruk, benar-salah dan indah-jelek.

Dengan pembenahan karakter ini, Dharma membagi keyakinan, “A man without character is like a wild bull let loose in a cornfield. Every fool may become a hero at one time or another, but the people of good character are heroes all the time”.

Apa yang kita buat selama ini adalah menyembah UN, yang lebih mefokuskan pencapaian (achieving) daripada pembelajaran. Bahkan, kita hanya habiskan energi untuk mepersiapkan UN. Tidak heran, dari luar generasi muda kita terkesan pintar dan pandai tapi sesungguhya di dalam rapuh dan keropos.

Ketiga, dengan merebaknya tren bunuh diri di daerah kita, kalau kita (sedikit) jujur, maka ini juga bagian kegagalan agama (gereja). Bahwa, umat kita sedang tercebur dalam aneka wajah kemiskinan termasuk “miskin iman”.

Buktinya, ada korban bunuh diri merasa yakin bahwa bunuh diri, mungkin jalan paling meyakitkan bagi kebanyakan orang tapi anehnya bagi korban mengalami kedamaian dalam kematian(bunuh diri). Apa ini soal keyakinan diri atau interpretasi salah atas iman itu?

Makanya, inilah moment bertanya bagi agen pastoral. Perlukah kita merumuskan pendekatan pastoral baru? Pendekatan yang tidak hanya menghibur umat dengan janji suci dan kotbah kudus. Tapi bagaimana menyadarkan dan membantu umat untuk menghadapi masalah harian lebih kreatif dan produktif? Apakah itu mungkin? Itu yang kita tunggu.

Artinya, baik negara maupun agama, toh punya tanggung jawab yang sama atas martabat hidup manusia. Negara mengurusi aspek badaniah, sementara, agama (gereja ) mengurusi aspek rohaniah dari rakyat itu.

Oleh karena itu, keberhasilan rakyat/umat adalah kebanggaan dua lembaga ini. Hanya perlu diterima juga, kalau aksi bunuh diri rakyat/umat NTT belakangan ini adalah pretensi kegagalan negara dan agama itu sendiri. Entahkah negara dan agama salah mengurusi warganya atau warga salah mengurusi dirinya?

Penulis, Alumnus STFK Ledalero, tinggal di Manila
(Dimuat Di Pos Kupang)

Saturday, June 14, 2008

"ORKES SAKIT HATI"





Fidel Hardjo






Suatu hari ketika lapangan di tengah kota becek, orang-orang pada ngomel. Tetapi Pygmalion berkata, “Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.”
“Seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, “Kikir betul orang itu”. Tetapi Pygmalion berkata, “Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu”.
“Anak-anak mencuri apel di kebun, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, “Kasihan,anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.”


Inilah cara berpikir positip ala Pygmalion. “Pygmalion” adalah salah satu kisah legendaris Romawi kuno. Alangkah indah dan damainya dunia ini, jika disesaki oleh orang-orang seperti Pygmalion “suka berpikir positip”, kata pujangga Romawi, Ovid dalam bukunya Pygmalion.


Alkisah, Pygmalion adalah seorang pemuda kesepian, piawai memahat patung, dan pemuda melankolis yang sama sekali tidak tertarik dengan wanita. Tetapi, rumor ini dijungkirbaliknya 100%.


Pygmalion justru tertambat hatinya, kepada sebuah patung wanita cantik yang dipahatnya sendiri. Karena cintanya yang membara-bara maka Ia pun berdoa kepada dewi cinta Venus, untuk menghidupi patung itu. Doanya pun dikabulkan. Ia pun menikahi wanita cantik itu.


Namun, bukan kisah pernikahan ini yang membuat Pygmalion heboh dan digandrungi oleh masyarakat sejamannya dan komunitas manusia di jaman ultra modern ini.


Melainkan, karena ketercerahan pandangan hidupnya. Pygmalion memandang segala sesuatu dari sudut yang baik alias “positive thinking”. George B. Shaw, pemenang hadiah nobel kesusasteraan Irlandia tahun 1925, menyebut perangai positip Pygmalion ini sebagai “pygmalion management”.



Orkes Sakit Hati


Bagaimana membaca kehidupan kita dalam “kaca mata” pygmalion? Coba kita amati warna-warni hidup kita sekarang. Hidup susah, konflik sana-sini, harga sembako mencekik, ruang politik yang rawan berseteru, kehidupan rumah tangga terseok-seok menggiring kita menuju “orkes sakit hati” tak bertepi.


Lantas situasi tertekan itu, orang sakit hati muncul membeludak baik di kota-kota besar maupun di desa-desa. Ada banyak yang memilih protes di jalan-jalan. Tak sedikit pula yang memilih diam. Diam dalam kepedihan. Inilah situasi kita, orkes sakit hati (meminjam judul lagu Slank).


Implikasinya, orang mudah tersinggung, menyalahi orang lain, sukar sekali berpikir positip. Padahal, apa yang kita pikirkan menentukan menjadi siapakah kita. Seperti apa yang dikatakan oleh Devis Kelvin, “what you have become is what you have thought” (The Law of Atraction, 2008).


Artinya, jika kita berpikir fokus pada konflik, masalah, dan menuding orang lain penyebab situasi sulit maka sebenarnya kita sendiri sedang memenjarakan diri dalam kesulitan. Maka, kita lupa mencari solusi. Energi kita hanya menari-nari dari suatu kesulitan meloncat ke kesulitan lainya.


Misalkan saja. Masalah pencabutan subsidi BBM. Sudah jelas-jelas pemerintah mencabut subsidi. Kita malah sibuk protes. Katanya, ini jaman demokrasi. Tetapi, lihat protes itu tidak membuahkan hasil. Energi kita sudah terkuras banyak. Ulah protes itu muncul konflik baru. Para sopir mogok. Giliran berikutnya, aktivitas sosial macet.


Padahal, kalau kita sinergikan energisitas yang ada, untuk bekerja dan mencari solusi lebih produktif maka ia sangat menolong kita memperbaiki hidup yang kian susah ini, ke arah yang lebih menjanjikan.


Contoh lain, apa yang telah kita buat atas masalah gizi buruk, buta huruf, kelaparan dan bencana alam di daerah kita? Tak lebih saling menyalahi. Rakyat menuding pemerintah sebagai penyebabnya. Karena, tidak mampu mengurus rakyat.


Para pemimpin juga menuding rakyat yang malas bekerja, pasrah dengan keadaan, menjadi penyebab mengapa daerah kita tidak maju-maju. Maka, sempurna sudah lingkaran saling menuding itu. Masuk akal, jika orkes sakit hati terus nyaring bergema.


Padahal, keadaan separah sekarang ini butuh kerja keras dan kerja sama kita semua. Selagi kita mengerangkeng saling menyalahi, biar langit ini juga runtuh, kesejahteran sosial itu sulit digenggam. Sama saja kita mengharapkan kucing bertanduk.


Itulah sebabnya, managemen pygmalion berkata, “anyone can determine their destiny through the power of their minds” (orang dapat mengubah haluan hidupnya oleh kedahsyatan berpikirnya).


Andaikan saja, energi pikiran kita sekarang “digumpalkan” untuk membangun kekuatan bersama menata hidup bersama maka bukan tidak mungkin segala persoalan sosial kita ditemukan jalan ke luar.


Yang terjadi apa? Pemimpin jalan sendiri, organisasi sosial urus sendiri, rakyat pun tenggelam dalam situasinya sendiri-sendiri. Lalu, kita berteriak kapan keadaan berubah. Mengapa semut bisa membuka terowong gelap di kaki gunung, hanya dengan merajut kerja sama? Dan, mengapa kita tidak bisa?


Lihat saja, ketika seorang naik jadi pemimpin, ada-ada saja kelompok lain tampil menjadi penentang. Mengapa bukan mendukung? Akhirnya, kebijakan kandas total. Tetangga sebelah membangun rumah tembok, kata-kata pujian sulit didengar. Jika ada kawan kantor naik pangkat, yang lain justru mengumpatnya. Apa yang salah?


Menangis, berdoa, dan merengek bantuan kepada orang lain tidak cukup. Maka, saatnya kita mengubah pikiran dan tingkah laku dari partisan menuju impartisan,dari inklusif menuju eksklusif, dari negatip menuju positip. Inilah jargon pygmalion, jalan “berpikir positip”.


Pengharapan Positip


Pengharapan positip merangkul kekuatan pikiran rasionalitas dan kecerdasan hati nurani. Pertama, masalah akan datang pergi tapi fokuskan perhatian pada pencarian solusi ketimbang tenggelam dalam konflik atau masalah itu sendiri.


Yang biasa kita lakukan adalah habiskan energi memeluk konflik daripada berjuang mencari solusi. Intinya, seperti kata Winston Churchil, mantan Perdana Menteri Inggris. " Seorang pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan; seorang optimistis melihat kesempatan dalam setiap kesulitan."

Kedua, mengapresiasi kesuksesan orang lain sekecil apapun. Dengan demikian kita bisa belajar dari kesuksesan orang lain dan orang yang sukses semakin menyadari arti kesuksesannya dan memacunya memenetrasi kesuksesan baru.

Jika kita hidup dalam lingkaran seperti ini, maka kesuksesan demi kesuksesan terus tercipta. Kadang orang sulit menemukan jalan menuju kesuksesan hanya karena mengantongi pikiran gelap terlalu banyak. Sebening dan seindah apapun kehidupan ini akan tetap gelap jika kaca mata gelap kita enggan ditanggalkan.

Ketiga, “where the mind goes the feet will soon follow”. Artinya, jalan awal untuk mengatasi kesulitan sosial bukan karena kemampuan fisik (physical body) tetapi oleh seberapa besar harapan positip kita. Banyak konflik terjadi di sekitar kita karena ruang berpikir kita terkerucut ke titik nol, akibatnya kekerasan fisik mudah tersulut


Oleh karena itu, marilah kita membumikan gaya hidup pygmalion, kapan dan di mana saja kita berada.


Penulis, peminat masalah psikologi sosial, staf Televisi TBN, tinggal di Manila.

Wednesday, June 4, 2008

10 KALIMAT BIJAK




1. Uang bukan segalanya.
Masih ada Mastercard dan Visa. [intinya bsa ngutang hehehe…]


2. Kita seharusnya menyukai binatang.
Mereka rasanya lezat. [sory ya buat yg vegetarian.. ]


3. Hematlah air.
Mandilah di bawah shower bersama pasangan kita. [khusus yang udah sah
doank..]


4. Di belakang setiap pria sukses ada seorang wanita
hebat.
Di belakang setiap pria yang tidak sukses ada dua. [hmm…. Emang
biasanya gtu kann??]


5. Cintailah tetangga.
Tetapi jangan sampai tertangkap basah. [halah…]


6. Orang bijaksana tidak menikah.
Setelah menikah mereka menjadi bijak sana dan bijak
sini. [hahaha….]


7. Cinta itu photogenic.
Dia memerlukan tempat gelap untuk berkembang. [ooppss.. no comment]


8. Pakaian itu adalah pagar pelindung.
Pagar seharusnya melindungi tanpa menghalangi
pemandangan yang indah. [pliss dehh…]

9. Semakin banyak belajar, semakin banyak yang kita
tahu.
Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita
lupa.
Semakin banyak yang kita lupa, semakin sedikit yang
kita tahu.
Jadi kenapa kita sibuk belajar ? [hihihihi… so??]


10. Masa depan tergantung pada impian kamu.
Maka pergilah tidur saja sekarang !

Saturday, May 24, 2008

“LAMPU KUNING” PILKADA NTT



Fidel Hardjo



Satu hati, satu harapan, satu doa kecil warga NTT, baik yang ada di luar, maupun di dalam daerah, ataupun di mana saja mereka berada, mendambakan pilgub NTT kali ini, dengan sistem demokrasi langsung (direct democracy): berjalan aman, lancar, damai, khikdmat dan sukses. Ini tidak sekadar doa kosong, tapi tersembul dari keringkihan azap dan sengsara rakyat!



Tetapi, hendak apa dikata. Baru tahap pengverifikasian paket cagub saja, kita sudah gagap dengan konflik. Bahkan, ditenggarai jadwal pilgub NTT akan diundur tanpa jelas. Ini baru babak awal. Masuk akal, kalau kita gelisah. Apalagi, jelang hari kampanye - pencoblosan - saat pengumuman hasil - pasti bakal lebih rumit. Terus terang, “lampu kuning” sedang menantang mata hati kita!


Lampu kuning itu adalah awasan imperatif moral. Pilkada akan kehilangan ikhtiarnya, jika tidak memeluk kesengsaraan rakyat. Rakyat kita sudah dijejali oleh banyak penderitaan: lapar, miskin, dungu, sakitan, bosan hidup bahkan frustrasi. Harga BBM naik dan diikuti fluktuasi harga sembako mencekik leher. Rasakan kegetiran rakyat ini. Oleh karena itu, kita tidak perlu bebani lagi rakyat dengan konflik pilkada. Jangan bikin rakyat tambah susah dan sengsara.



Lantas kesengsaran tak bertepi itulah, rakyat tak sabar menanti pemimpin baru. Pemimpin yang bisa mengangkat rakyat dari kubangan kesengsaraan menuju gerbang kesejahteraan dan kemakmuran. Lagi-lagi bukan konflik. Angan-angan rakyat itu sederhana. Sesederhana hidup yang mereka lakoni. Mereka hanya butuh harga garam, beras, minyak tanah, pupuk, minyak goreng murah dan bisa naik bemo jual sayur dan ubi di pasar. Itu sudah cukup bagi mereka.



Lebih salut lagi. Kalau anak-anak bisa disekolahkan gratis. Ibu-ibu hamil bisa bersalin di rumah sakit tanpa pungutan biaya. Anak-anak kurang gizi diobati gratis. Inilah impian mereka. Impian di balik triumphalistik suksesi pilkada. Jadi, bukan sekadar gelar ritual estafet pemimpin, apalagi syarat dengan konflik. Asal tahu, rakyat cuma butuh pemimpin idola, yang bisa melucuti baju hina kemiskinan dan kesengsaraannya dengan baju baru yang bersih, sehat dan layak.



Hanya perlu dingat, pinjam istilah Tony Kleden (wartawan PK), pilkada itu bukan euforia pilih NTT Idol, seperti pentas cengengan Indonesian Idol. Di mana idola dideterminasi oleh seberapa banyaknya SMS, seheboh apanya pekikan histeris, seenergik apa memengaruhi massa. Atau, sekadar atraksi circus, yang lebih banyak menebar pesona dan jenaka daripada kesiapan matang untuk ditantang dan menjawabi masalah rakyat kecil yang serba kompleks.



Kompleksitas penderitaan rakyat sejatinya adalah “par excellent” (the truest) hakikat pilkada. Derita rakyat sebagai “peta” yang mengarahkan dan menuntun, bagaimana kita semestinya memaknai pilkada ini. Karena itu, siapa saja baik pemimpin incubent, kontestan, KPUD, panwaslu, polisi maupun rakyat itu sendiri, sebaiknya bersinergi seoptimal mungkin mencegah konflik (horisontal maupun vertikal), yang sama sekali tidak memberi nilai plus kesejahteraan.



Itu mengandaikan, kita semua rela berjalan di atas roadmap yang sama, yaitu ikuti aturan main pilkada yang sudah ditetapkan. Jangan dikurangi, bukan pula ditambah-tambah. Apalagi pemilihan cagub kali ini agak pelik, sebab digelar demokrasi langsung dari desa ke desa dan kota ke kota. Betapa mahal taruhannya demokrasi langsung ini jika tanpa persiapan maksimal dan pemikiran bening. Kalau tidak, konflik bakal datang pergi melilit proses pilkada ini berlangsung.



Konflik mulai terpecah ketika orang atau kelompok mengusung peta sendiri–sendiri (baca: self-interest) dalam pilkada. Apa yang dipikirkan aku. Apa yang didoakan kami. Apa yang diimpikan aku. Apa yang diingat kami. Lalu, ruang refleksivitas untuk rakyatnya di mana? Artinya, biar kita pilih seribu satu kali pemimpin dalam setahun nihil makna, sama saja membuang garam ke laut.



Lihat saja reaksi tutup mulut KPUD NTT, setelah ada aksi demo dari pendukung paket cagub yang tidak lulus tahap verifikasi. Mengapa ada konspirasi “tutup mulut” kalau apa yang ditetapkan KPU berlaku jujur, adil, transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku? Sebaliknya, mengapa pendukung paket cagub yang dinyatakan tidak lulus verifikasi KPU, masih nekad menuntut keadilan? Apa yang salah kebijakan KPUD NTT?



Penulis bukan ingin menyalahi siapa-siapa. Sekadar menyadarkan kita betapa ongkos demokrasi mahal kalau berjalan menurut peta sendiri. Rakyat bisa terbelah oleh kepentingan politisi. Ujung-ujung dari tindakan anorma ini adalah rakyat sendiri menjadi korban yang menyayatkan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang sudah lama diimpikan semakin jauh oleh prahara konflik.



Benar apa yang dikatakan DR. Budi Kleden, bahwa susahnya melahirkan pemimpin sama seperti kesusahan bunda melahirkan anak. Adalah celaka besar jika orang tidak merasa risih dengan kata-kata bijak ini. Rakyat sudah kehabisan kata. Tinggal bagaimana nurani para politisi kita menjawab. Armstrong (2006) katakan zaman jahiliah sekarang, yang penuh prahara, pertikaian, konflik, kehancuran nilai dan keteladanan, hanya bisa ditebusi dengan kepemimpinan profetik.



Kepemimpinan profetik itu bersikap jujur, adil, bijaksana, transparan dan selalu pro rakyat kecil. Spiritualitas kepemimpinan profetik ini merupakan corong demokrasi. Cerminan kepemimpinan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, apa yang dikecap oleh rakyat selama ini, pengartian demokrasi, “hanya sebatas dari rakyat, oleh rakyat tapi bukan untuk rakyat”. Lihat sendiri hasilnya!



Rakyat semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Rakyat semakin bodoh dan yang kaya semakin pintar. Rakyat semakin sengsara, yang pintar semakin pintar membahagiakan hidup. Rakyat protes BBM naik, pemimpin cuma duduk manis pangku tangan dan pada saatnya palu diketuk, BBM mesti dinaik. Lagi-lagi tidak untuk rakyat.



Jika demikian, maka perlu dipertanyakan untuk apakah kita menyelengarakan pilkada jika hasilnya tidak menguntungkan rakyat? Berapa besar dana dikucur dari keringat rakyat untuk kontestasi pilkada ini. Berapa banyak energi rakyat tersedot untuk penggelaran pilkada ini? Kalau akhirnya dibayar dengan ketidakadaan perubahan dalam situasi riil masyarakat akar rumput.



Padahal, rakyat telah kuras energi, sibuk pilih pemimpinnya. Para bapak tinggalkan bajak sawah, rela lepaskan iris tuak berhari-hari. Para ibu gantungkan periuk, tidak lagi jual sayur ke pasar, hanya ingin dengar kampanye calon pemimpin. Rakyat harus berbaris antrean mencoblos pemimpin pujaan sepanjang hari. Belum lagi, kalau rakyat diaduk-aduk oleh konflik politisi.



Inikah semua bayaran yang mesti dipikul oleh rakyat? Pertanyaan ini menjadi ruang refleksi yang mesti tersimpan rapih di pojok hati: KPU, panwas, polisi, DPR, semua pemimpin termasuk cagub NTT sekarang yang siap bertarung dalam pilgub.



Artinya, pilkada bukan ditolak tetapi semestinya pilkada itu memberi makna signifikan kepada kepentingan rakyat. Bagaimanapun kita butuh seorang pemimpin. Karena, kita susah bayangkan masyarakat tanpa pemimpin sama seperti sebuah hutan rimba yang disesaki harimau liar-ganas.



Oleh karena itu, pilgub NTT kali ini kita harapkan agar memosisikan penderitaan rakyat di atas segala-galanya. Penderitaan rakyat mesti menjadi concern bersama, yang harus kita eksekusi bersama bukan menciptakan konflik. Konflik awal pilgub NTT bukan berarti kita sudah gagal segala-galanya. Konflik awal itu hanya menjadi “lampu kuning” untuk warga NTT.



Lampu kuning itu bisa saja berubah. Entahkah menjadi “lampu merah” yang sangat membahayakan atau bisa saja berubah menjadi “lampau hijau” yang penuh daya elan vital membangkitkan NTT. Semuanya, tergantung dan kembali kepada pikiran dan mata hati kita yang bening.



Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.