Thursday, May 8, 2008

DEMOKRASI MEMATIKAN



Fidel Hardjo

Masih segar dalam ingatan kita, akan kematian Marsinah, lalu kematian Theys Hiyo Eluay dari Papua, dan trio hukuman mati Tibo cs, lalu tragedi kematian Munir. Belum tuntas masalah munir, kita kembali dikejutkan oleh kematian pendeta Irianto Kongkoli di poso pada tanggal 19 0ktober 2006. Kematian mereka berkahir dengan tidak menyentuh akar persoalan. Kematian mereka menyisahkan sebuah pertanyaan besar bagi rakyat dan bangsa besar ini. Ada apa di balik semuanya ini?

Potret buram demokrasi

Sebenarnya ada banyak warga indonesia yang nyawa mereka melayang begitu saja. Ada yang mati karena penyakit flu burung, bencana alam, bunuh diri dan busung kelaparan, rabies dan lain-lain. Kebanyakan orang tidak perdebatkan. Tetapi ketika kematian bernuansa “politik” selalu menyisahkan seribu satu persoalan dalam negara yang berwajah demokrasi ini. Kematian Marsinah, Theys Hiyo Eluay, Tibo cs, Munir dan Kongkoli boleh merupakan sebuah potret buram betapa kejamnya demokrasi kita.

Keburaman demokrasi di negeri ini merupakan akumulasi kegagalan pemerintah menghidupi napas demokrasi itu sendiri: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah kita lupa bahwa kuasa yang mereka miliki berasal dari rakyat. Kekuasaan yang berada di atas pundak mereka merupakan perpanjangan kekuasaan rakyat. Kekuasaan yang mereka miliki akan tidak memiliki arti kalau tidak berfungsi untuk melayani kebutuhan rakyat.

Thomas Hobes mengatakan kalau kekuasaan sedang memonopoli seseorang atau sekelompok orang maka orang cenderung menjadi “srigala bagi yang lain”. Antara kekuasaan dan kejahatan hanya tipis distant perbedaan baik buruknya. Arogan kekuasaan hanya cenderung bersikap barbar. Ketika kekuasaan berjalan sendiri dan rakyat berjalan sendiri maka rakyat biasa selalu menjadi korban kekalahan dan kematian.

Kalau kita ingin kembali menghidupi demokrasi di negeri ini, dengarlah lebih banyak dari rakyat. Belajarah banyak dari penderitaan rakyat! Bacalah hati rakyat! Rakyat itu sendiri merupakan pengetahuan dasar demokrasi sebaliknya ketika banyak rakyat yang mati akibat korban kekahaosan politik berarti demokrasi kita hampir mati.

Mengamati situasi apa yang terjadi di republik ini, ada satu pesan serius dibalik kematian anak-anak bangsa yaitu pemerintah kita kelihatannya tidak menaruh hati atas keterlukaan hati dan kematian rakyatnya. Contoh saja, hampir publik tidak percaya bahwa aktor pembunuh Munir, tidak terjamah oleh profesionalisme polisi.

Padahal polisi kita sekarang pintar-pintar. Kalau kita tidak temukan siapa aktor pembunuhnya, apakah kita harus akui bahwa ada setan atau dewa kayangan dari singgah sana yang mencaplok jiwa orang tak bersalah ini!

Saya tidak bisa bayangkan kalau keluarga Kongkoli, Theys, Marsinah, Munir atau keluarga Tibo dkk. adalah orang beruang dan berkuasa di negeri ini. Saya jamin seratus persen bahwa kasus demi kasus pasti sangat rapih diselesaikan.

Saya yakin dengan kuasa dan uang apa yang menjadi misteri bisa berubah menjadi tersentuh, yang sulit sekalipun bisa berubah menjadi gampang, apa yang benar pun bisa berubah menjadi salah atau sebaliknya.

Jadinya, siapa yang berkuasa dia bertahan. Siapa yang beruang dia menang. Orang kecil tidak memiliki apa-apa. Rakyat kecil menjadi sampah demokrasi yang siap didrop ke tempat pembuangan. Mereka selalu menjadi korban kekalahan. Bahkan kematian adalah taruhan termahal atas kehidupannya. Kepada siapa rakyat harus megaduh atas kekalahan mereka kalau bukan kepada pemimpin mereka. Siapa lagi yang meneguhkan rakyat ketika orang yang paling mereka cintai dirampok dan dibunuh oleh orang-orang tidak ketahui identitasnya kalau bukan pemimpin mereka.

Sulit dibayangkan tetapi sungguh terjadi. Ketika orang kecil seperti Tibo dkk. dengan mudah diklaim sebagai aktor intelektual perusuh peristiwa Ambon berdarah. Tetapi begitu gampang upaya hukuman mati mereka diproses. Sulit dibayangkan seorang Munir masuk dalam pesawat dengan tubuh yang hidup dan ke luar dari pesawat dengan tubuh kaku tak bernyawa lagi.

Tetapi begitu gampang seorang Pollicarpus B. Priyanto kapten pilot Garuda yang diduga pendalang kematian Munir dibebaskan dengan tidak terbukti salah. Tidak fair! Gila benar republik ini!
Kasihan orang kecil selalu menjadi kelinci percobaan. Orang kecil selalu siap dicoba untuk aneka konspirasi politik murahan dan hedo politik yang keterlaluan. Kasihan orang kecil sebab selalu siap tumbal kapan dan di mana saja ketika kuasa membutuhkanya.


Belajar dari ketersesatan

Bagaimanapun kita tidak menghendaki bangsa ini mati dan kehilangan masa depan. Deretan kematian anak bangsa yang sudah terjadi merupakan inspirasi baru bagi kita untuk merefleksi kembali ketersesatan bangsa ini. Ketersesatan bangsa ini telah menjadi bencana nasional yang tidak disadari tetapi berbahaya.

Pertama adalah “modus operandi pembunuhan anonim” harus dihentikan. Plato dalam konsep negara idealnya, ia memaparkan salah satu ketakutannya yang merusak tatanan negara ideal adalah proses “mimesis”.

Plato menjelaskan bahwa peniruan itu baik kalau modelnya baik dan peniruan itu buruk kalau modelnya buruk (imitation is good if the model is good, and bad if the model is bad). Plato tidak ragu mengatakan mimesis inse dalam dirinya destruktif, yaitu tindakan yang secara potensial merusak republik karena orang lebih banyak meniru yang buruk dari model yang buruk untuk tujuan buruk (Derrida. ‘Platons mimesis, Agora 2/3, Oslo 1989 hal. 94).

Kematian Marsinah, Theys, Munir dan Tibo cs, Kongkoli merupakan modus operandi peniruan yang buruk atas penyelesaian konflik yang ada. Yang jelas proses pembunuhan ini merupakan akumulasi peniruan yang buruk atas model buruk, dengan tujuan buruk, dan pelaku buruk.

Pembunuhan ini akan lebih dipertegas ketika aktor pembunuh sebenarnya (real killer) berakhir dengan kehilangan jejak. Boleh jadi peniruan ini merupakan pola pembunuhan yang sudah akut dari orang yang sama dan akan terus diwariskan.

Modus operandi pembunuhan yang sama ini, biasanya akan bersembunyi di balik slogan lama. Negara kita adalah negara hukum. Jangan bertindak anarkis “biarkan hukum yang menyelesaikan persoalan”. Slogan hukum diperkuat lagi oleh slogan demokrasi.

Negara kita adalah negara demokrasi karena itu selesaikan “persoalan secara demokratis”. Slogan ini menjadi logika yang ampuh dan mapan untuk mengaburkan persoalan demi persoalan. Padahal, sekian sering kinerja hukum dan demokrasi kita dipeributkan dan sangat kontroversial.

Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh aparaturnya, coba merefleksi kembali esensi jabatan yang sedang ada di atas pundak mereka. Rakyat percaya bahwa jabatan yang sedang mereka emban bukan hasil peniruan atas model yang buruk (bad model). Jangan sia-siakan kepercayaan rakyat itu. Buktikan kepada rakyat dan bangsa yang besar ini kesejatian kepemimpinan anda. Kita henti mewariskan “model” yang buruk kepada generasi baru kita dalam menyelesaikan konflik sosial lewat kekerasan dan kematian.

Kedua adalah adanya “gap yang melebar” antara kepentingan rakyat dan pemerintah di negeri ini. Gap ini melebar dan semakin parah dan paten. Gap ini terlihat jelas ketika perjuangan rakyat bukan lagi menjadi perjuangan pemerintah dan visi pemerintah bukan lagi cetusan kebutuhan rakyat.

Sebab apa diperjuangkan pemerintah adalah apa yang bukan menjadi kebutuhan rakyat. Sebaliknya apa yang menjadi perjuangan rakyat adalah apa yang bukan menjadi kebutuhan pemerintah. Gap yang melebar ini membuat setiap pihak berdiri di atas perasaannya dengan dalil untuk memenangkan diri sendiri.

Kalau seandainya tuan presiden atau mahkmah agung berada dan masuk di tengah jeritan jutaan tuntutan rakyat yang memohon hentikan hukuman mati atas negeri ini atau masuk dalam perasaan jutaan pendukung ungkit tuntas kematian Munir maka situasinya akan megubah segala-galanya. Selapar-laparnya harimau tetapi ia tidak pernah memangsa anaknya. Kalau binatang saja tahu menyanyangi anaknya apalagi manusia, bukan? Kadang binatang juga memberi pelajaran yang bermakna bagi manusia.

Belajar dari ketersesatan itu baik! Kalau kita ingin menyelamatkan negeri ini maka kita harus menyadari bersama dua persoalan akut di atas. Modus operandi pembunuh kematian anonim, misterius bukan menjadi model yang baik penyelesaian konflik sosial di dalam negeri ini. Adanya gap antara pemerintah dan rakyat yang semakin melebar bukanlah model yang baik yang patut ditiru untuk membangun negara ideal seperti yang diusung oleh Plato dalam konsep negara idealnya.

Kalau pemerintah sebagai “main player” tidak membuat perubahan yang signifikan atas dua persoalan fundamental di atas maka entah sadar atau tidak, entah lama atau tidak, kita sedang menggali kubur untuk diri kita sendiri. Kita sedang memperpendek usia bangsa ini. Kapan kita seperti Jepang, Cina, dan India?

Penulis, Alumnus STFK Ledalero

0 comments: