Kegelisahan pendidikan NTT
(Refleksi di balik memperingati Hari Pendidikan Nasional)
Oleh Fidel Hardjo *
DARI 4 juta lebih penduduk NTT, sebanyak 370.710 warganya buta huruf, sementara penganggur terbuka berjumlah 104.832 orang. (Kompas 15/7/ 2006). Jumlah warga buta huruf dan pengangguran daerah ini sangat memrihatinkan. Bukan tidak mungkin pengangguran, kemiskinan dan kebodohan bergeser ke level yang lebih akut.
Pemerintah daerah sebagai stakeholder pendidikan lokal semestinya mencermati realitas ini dengan serius. Keterabaian sektor pendidikan ternyata menciptakan ketidakberdayaan dalam skala yang lebih kompleks. Menelisik akar persoalan kemiskinan dan kebodohan di NTT memang pelik. Sama peliknya ketika kita berhadapan dengan pertanyaan mana yang lebih dulu telur atau ayam? Kita bodoh karena miskin atau miskin karena bodoh?
Bodoh karena miskin
Kita bodoh karena miskin. Ada banyak alasan. Pertama, faktor kemiskinan orangtua. Hampir 90 persen jumlah penduduk NTT adalah mayarakat petani, yang juga merupakan keluarga miskin. Pekerjaan utama mereka adalah berkebun dan bersawah. Segala harapan dan mimpi masa depan terbentang luas di ladang dan sawah. Nasib mereka sangat ditentukan oleh kebaikan alam.
Di awal tahun 2007, propinsi ini dihantam kemarau panjang dan bencana longsor habis-habisan. Semua usaha, harapan dan mimpi telah menjadi sirna. Problem ekonomi terasa semakin sulit. Problem ekonomi meluas pada masalah pendidikan. Idealisme pendidikan kini terbentur dengan beban ekonomi yang terseok-seok. Sekolah gratis pada level sekolah dasar (Universal Basic Education) pun terasa sulit. Namanya gratis tapi masih ada biaya seragam, beli pensil dan buku. Seragam sekolah, sepatu, pensil dan buku bagi seorang petani miskin merupakan barang mahal. Sekalipun barang-barang itu tidak semahal dengan apa yang dibayangkan. Mau apa dikatakan, mereka terlanjur hidup kultur kemiskinan.
Kedua, kemiskinan negara. Bukan hanya orangtua yang miskin, negara juga miskin. Sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai turut "menelantarkan" anak-anak. Pandangan ini dipertegas Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998) dalam bukunya Inequality Reexamined (1992) yang menekankan kurangnya kesempatan (entitlement) dan penyediaan lembaga pendidikan dan sekolah telah membuat orang yang paling miskin tidak bisa menikmati pendidikan seutuhnya.
Masalah transportasi merupakan salah satu bukti kemiskinan negara. Anak-anakyang berumur 6 sampai 10 tahun harus berjalan kaki belasan kilometer untuk menempuh sekolah mereka. Lokasi sekolah yang tak tersentuh oleh sarana transportasi telah membuat anak-anak menghabiskan waktunya lebih banyak di jalan daripada di sekolah. Kalau pemerintah tidak menyikapi persoalan ini dengan serius, maka secara tidak langsung negara juga turut mewarisi kebodohan ke generasinya.
Ketiga, kemiskinan sosial. Masyarakat NTT sangat akrab dengan prinsip, "makan atau tidak makan yang penting berkumpul". Sayangnya, konsep ini hanya kuat dalam ranah adat istiadat. Hanya, pertanyaannya mengapa kita tidak memiliki spirit yang sama dalam ranah pendidikan? Peluang keramahan budaya ini semestinya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjalankan misi pendidikan yang lebih hemat dan produktif.
Kempat, kemiskinan daya juang anak itu sendiri. Banyak anak NTT yang mengerti dunia mereka sendiri sebatas kebun, sawah dan ladang. Mereka merasa puas dengan keadaan mereka. Daya juang mereka ditakar dengan bagaimana berkebun dan berladang.
Tugas kita sekarang adalah bagaimana membangkitkan idealisme baru bagi kehidupan anak-anak yang sudah terkubur dalam kemiskinan dan kebodohan. Tugas ini memang berat. Kita butuh support banyak pihak.
Miskin karena bodoh
Kita miskin karena bodoh. Dari 4 juta lebih jiwa penduduk NTT ada sebanyak 370.710 warga NTT yang buta huruf. Jumlah ini memang keterlaluan. Bagaimana kita bisa mengharapkan sebuah pertumbuhan ekonomi daerah yang progresif kalau hampir setengah penduduk tidak memilliki standar pendidikan yang pantas. Bagaimana kita ingin menjadi kaya atau kurang lebih "hidup layak" kalau masyarakat itu sendiri tidak mengerti mengapa mereka miskin?
Bagaimana orangtua bisa mendidik anak mereka kalau mereka sendiri buta huruf? Bagaimana bisa menjadi TKW atau TKI ke luar negeri kalau kebanyakan anak-anak tidak tamat SD atau drop out SMA? Selagi mereka tetap "terjajah" oleh buta huruf, maka harapan untuk keluar dari kemiskinan tetap mengecil. Siapa yang bisa menolong mereka?
Inilah momen yang tepat bagi pemerintah untuk membaca realitas kemiskinan dengan pikiran yang bening. Program dana bantuan desa tertinggal akan tidak tepat sasar kalau sebatas membagi-bagi beras kepada masyarakat.
Program ini bersifat boros dan tidak mendidik masayarakat, hanya menambah ketergantungan masyarakat. Kita semestinya menolong masyarakat dengan paradigma konstruktif. Satu-satunya adalah jalur pendidikan gratis.
Oleh Fidel Hardjo *
DARI 4 juta lebih penduduk NTT, sebanyak 370.710 warganya buta huruf, sementara penganggur terbuka berjumlah 104.832 orang. (Kompas 15/7/ 2006). Jumlah warga buta huruf dan pengangguran daerah ini sangat memrihatinkan. Bukan tidak mungkin pengangguran, kemiskinan dan kebodohan bergeser ke level yang lebih akut.
Pemerintah daerah sebagai stakeholder pendidikan lokal semestinya mencermati realitas ini dengan serius. Keterabaian sektor pendidikan ternyata menciptakan ketidakberdayaan dalam skala yang lebih kompleks. Menelisik akar persoalan kemiskinan dan kebodohan di NTT memang pelik. Sama peliknya ketika kita berhadapan dengan pertanyaan mana yang lebih dulu telur atau ayam? Kita bodoh karena miskin atau miskin karena bodoh?
Bodoh karena miskin
Kita bodoh karena miskin. Ada banyak alasan. Pertama, faktor kemiskinan orangtua. Hampir 90 persen jumlah penduduk NTT adalah mayarakat petani, yang juga merupakan keluarga miskin. Pekerjaan utama mereka adalah berkebun dan bersawah. Segala harapan dan mimpi masa depan terbentang luas di ladang dan sawah. Nasib mereka sangat ditentukan oleh kebaikan alam.
Di awal tahun 2007, propinsi ini dihantam kemarau panjang dan bencana longsor habis-habisan. Semua usaha, harapan dan mimpi telah menjadi sirna. Problem ekonomi terasa semakin sulit. Problem ekonomi meluas pada masalah pendidikan. Idealisme pendidikan kini terbentur dengan beban ekonomi yang terseok-seok. Sekolah gratis pada level sekolah dasar (Universal Basic Education) pun terasa sulit. Namanya gratis tapi masih ada biaya seragam, beli pensil dan buku. Seragam sekolah, sepatu, pensil dan buku bagi seorang petani miskin merupakan barang mahal. Sekalipun barang-barang itu tidak semahal dengan apa yang dibayangkan. Mau apa dikatakan, mereka terlanjur hidup kultur kemiskinan.
Kedua, kemiskinan negara. Bukan hanya orangtua yang miskin, negara juga miskin. Sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai turut "menelantarkan" anak-anak. Pandangan ini dipertegas Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998) dalam bukunya Inequality Reexamined (1992) yang menekankan kurangnya kesempatan (entitlement) dan penyediaan lembaga pendidikan dan sekolah telah membuat orang yang paling miskin tidak bisa menikmati pendidikan seutuhnya.
Masalah transportasi merupakan salah satu bukti kemiskinan negara. Anak-anakyang berumur 6 sampai 10 tahun harus berjalan kaki belasan kilometer untuk menempuh sekolah mereka. Lokasi sekolah yang tak tersentuh oleh sarana transportasi telah membuat anak-anak menghabiskan waktunya lebih banyak di jalan daripada di sekolah. Kalau pemerintah tidak menyikapi persoalan ini dengan serius, maka secara tidak langsung negara juga turut mewarisi kebodohan ke generasinya.
Ketiga, kemiskinan sosial. Masyarakat NTT sangat akrab dengan prinsip, "makan atau tidak makan yang penting berkumpul". Sayangnya, konsep ini hanya kuat dalam ranah adat istiadat. Hanya, pertanyaannya mengapa kita tidak memiliki spirit yang sama dalam ranah pendidikan? Peluang keramahan budaya ini semestinya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjalankan misi pendidikan yang lebih hemat dan produktif.
Kempat, kemiskinan daya juang anak itu sendiri. Banyak anak NTT yang mengerti dunia mereka sendiri sebatas kebun, sawah dan ladang. Mereka merasa puas dengan keadaan mereka. Daya juang mereka ditakar dengan bagaimana berkebun dan berladang.
Tugas kita sekarang adalah bagaimana membangkitkan idealisme baru bagi kehidupan anak-anak yang sudah terkubur dalam kemiskinan dan kebodohan. Tugas ini memang berat. Kita butuh support banyak pihak.
Miskin karena bodoh
Kita miskin karena bodoh. Dari 4 juta lebih jiwa penduduk NTT ada sebanyak 370.710 warga NTT yang buta huruf. Jumlah ini memang keterlaluan. Bagaimana kita bisa mengharapkan sebuah pertumbuhan ekonomi daerah yang progresif kalau hampir setengah penduduk tidak memilliki standar pendidikan yang pantas. Bagaimana kita ingin menjadi kaya atau kurang lebih "hidup layak" kalau masyarakat itu sendiri tidak mengerti mengapa mereka miskin?
Bagaimana orangtua bisa mendidik anak mereka kalau mereka sendiri buta huruf? Bagaimana bisa menjadi TKW atau TKI ke luar negeri kalau kebanyakan anak-anak tidak tamat SD atau drop out SMA? Selagi mereka tetap "terjajah" oleh buta huruf, maka harapan untuk keluar dari kemiskinan tetap mengecil. Siapa yang bisa menolong mereka?
Inilah momen yang tepat bagi pemerintah untuk membaca realitas kemiskinan dengan pikiran yang bening. Program dana bantuan desa tertinggal akan tidak tepat sasar kalau sebatas membagi-bagi beras kepada masyarakat.
Program ini bersifat boros dan tidak mendidik masayarakat, hanya menambah ketergantungan masyarakat. Kita semestinya menolong masyarakat dengan paradigma konstruktif. Satu-satunya adalah jalur pendidikan gratis.
Pendidikan gratis
Apakah Pemerintah NTT bisa membangun pendidikan gratis ketika situasi ekonomi daerah carut-marut dan rehabilitasi bencana alam belum tuntas? Tidak ada yang mustahil. Hanya orang yang tidak pernah mencoba adalah orang yang selalu gagal.
Pemerintah daerah jangan "pelit hati" untuk menolong anak-anak buta huruf dan miskin dengan membuka sekolah gratis. Sudah saatnya, pemerintah daerah jangan terlalu berharap sepenuhnya dari pemerintah pusat untuk memperbaiki kondisi kemiskinan dan kebodohan masyarakatnya.
Apakah Pemerintah NTT bisa membangun pendidikan gratis ketika situasi ekonomi daerah carut-marut dan rehabilitasi bencana alam belum tuntas? Tidak ada yang mustahil. Hanya orang yang tidak pernah mencoba adalah orang yang selalu gagal.
Pemerintah daerah jangan "pelit hati" untuk menolong anak-anak buta huruf dan miskin dengan membuka sekolah gratis. Sudah saatnya, pemerintah daerah jangan terlalu berharap sepenuhnya dari pemerintah pusat untuk memperbaiki kondisi kemiskinan dan kebodohan masyarakatnya.
Pendidikan gratis bisa ditempuh dengan memberikan kursus alternatif. Tawaran kursus alternatif bisa disesuaikan dengan peluang daerah seperti membuka kursus keterampilan menenun, pertukangan, perkebunan, melaut dan lain-lain.
Pendidikan gratis tidak cukup. Kita juga menggalakkan spiritualitas "orang miskin menolong orang miskin". Masyarakat NTT memiliki magic culture yang sangat kuat. Kultur berbagi (shared) yang sangat tinggi. Kita manfaatkan potensi budaya "berbagi" ini untuk menolong satu dengan yang lain. Kita harus bukti bahwa orang miskin ternyata bisa menolong orang miskin. Orang miskin menolong orang miskin merupakan kultur baru yang perlu digalakkan terutama ketika negara kita dihempas oleh berbagai bencana alam, krisis ekonomi dan korupsi yang berkepanjangan.
Semoga tulisan ini menjadi setitik embun, yang bisa mengobati rasa haus, di tengah kegelisahan 370.710 orang warga NTT yang masih "dijajahi" oleh buta huruf.
* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
(Artikel ini dimuat di Pos Kupang, 2/5/2007)
* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
(Artikel ini dimuat di Pos Kupang, 2/5/2007)
0 comments:
Post a Comment