SEKOLAH "BERHATI IBU"
Fidel Hardjo
Kisah bunuh diri (attempted suicide) NES siswa kelas II SMP Muhamahdiyah Playen Yogyakarta (Kompas, 24/5/2007) menghentak. Ia menambah deretan peserta didik yang mengambil jalan tragis ini. Sayangnya, kita tidak pernah memosisikan persoalan ini dalam bingkai refleksi, hal mana menjadi latar belakang tulisan ini.
The cost of poverty
Ujung-ujungnya adalah kemiskinan. Realitas kemiskinan yang sudah mengakar telah membunuh idealisme anak-anak sejak dini. Sejak kecil, anak-anak memikul beban warisan kemiskinan keluarga. Kondisi itu lebih dipertegas lagi ketika mereka mulai masuk sekolah. Wajah sekolah yang didominasi oleh anak-anak orang kaya yang memiliki handphone, uang jajan, dan berpakain “luxury” membuat mereka tertukik ke dalam kondisi helplessness (Martin Seligman,1975).
Kondisi ketaktertolongan ini, telah menyeret anak-anak kepada rasa pupusnya harapan (feeling of hopelessness), termasuk harapan untuk hidup. Hidup terasa sulit dipertahankan apalagi menikmati hidup seperti kerinduan Chairil Anwar: Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Bukan hanya itu. Kemiskinan keluarga berangsur-angsur menjadi virus yang mematikan. Virus yang memangkas harga diri (feelings of worthlessness). Mereka merasa diri tak bernilai, dan lebih menyerupai “sampah yang menyesakkan” (being of a waste space), di antara dualitas kemiskinan dan tekanan kompetitif arus globalisasi yang merumuskan pendidikan sebagai panglima.
Itu berarti, anak-anak miskin yang tidak terjamah oleh pendidikan semakin tereleminasi dalam percaturan ekonomi lokal yang selalu tunduk di bawa “palu” free global market.
Akhirnya, implikasi konfliktual kemiskinan keluarga, bukan hanya meregenerasi kemiskinan dari keluarga ke keluarga dan dari bangsa ke bangsa tetapi juga menghadirkan wajah generasi muda yang depresi, frustasi, dan “doyan” bunuh diri.
“duty of care”
Mungkinkah sekolah bisa membangun kultur pendidikan yang berhati ibu? Peran sekolah bukan hanya sebagai institusi kognitis yang mencetak anak didik, dengan formulasi kritis-pragmatis (know how dan know why) untuk melahirkan generasi bangsa yang lebih cerdas, pandai, dan berbudi pekerti.
Itu tidak cukup. Tanggung jawab sekolah yang paling luhur adalah menjadi ibu, duty of care bagi peserta didik. “Ibu” (baca:almamater) yang mencinta, mengandung, melahirkan, memelihara, dan membesarkan peserta didik (Paula A Treichler, 1985).
Pertama, sekolah mengambil peran ibu yang ringan tangan menolong (help) peserta didik. Sentuhan tangan seorang ibu di tengah kondisi ke-helplessness-an perserta didik merupakan upaya mendongkrak potensi kehidupan (zest of living) yang kian sulit dipertahankan akibat realitas kemiskinan yang menukik.
Sekolah semestinya menjadi ruang kehidupan di mana peserta didik merasa at home, dilindungi dan ditolong (Nelson, 2000) dengan dibentuknya “wadah solidaritas” sekolah untuk membantu anak-anak miskin di sekolah.
Kedua, sekolah menjadi ibu yang selalu memberi hope kepada anak didik. Peserta didik yang sedang mengalami situasi helplessness akan sangat rentan merasa diri hoplessness. Keputusasaan yang sudah terpatologis akan mudah melahirkan rasa diri worthlessness.
Pada level ini, mereka merasa diri sebagai sampah, yang dibuang, dpinggirkan dan harus dimusnahkan. Di sini, sekolah mengambil inisiatip untuk memberi harapan hidup yang lebih realistik dan idealistik dengan mengaktifkan “team konseling” profesional di sekolah.
Sekolah perlu mensoalisasikan tujuan dan manfaat konseling kepada peserta didik agar stereotipe buruk ruang konseling adalah ruang anak "bermasalah" dapat dihindari. Sebaiknya konselor sekolah tidak perlu mengangkang dua jabatan mengajar sekaligus konselor. Konselor terfokus dengan pekerjaan pembinaan psikologis anak-anak.
Ketiga, motivational theory (Pintrich & Schunk, 1996), peran sekolah adalah menjadi ibu yang memotivasi dan membangkitkan self-confidence anak didik. Kondisi worthlessness peserta didik yang terlampau berat akan sangat gampang jatuh pada pilihan membunuh diri (Durkheim, Suicide,1897).
Sebagai langkah preventif, para pendidik perlu melakukan “pendampingan kreatif-psikologis” secara personal kepada anak didik. Banyak peserta didik akan mengenang guru mereka, pada dasarnya bukan karena “cakepnya” metodologis pengajaran, tapi soal kedekatan.
Kedekatan itulah yang membuat semua orang memutuskan untuk bersahabat, berkawan, dikenang, bahkan pada level yang paling tinggi adalah mencinta.
Dengan pendekatan kreatif-psikologis ini, mereka merasa diri didengar dan dibela dalam kondisi keretakkan kepribadian akibat lingkaran setan helplessness, hopelessness, dan worthlessness yang sudah kronis.
Penulis, Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
0 comments:
Post a Comment