Orangtua Yang Kudambakan
Fidel Hardjo
"Aku ingin ibu.... membiarkanku bermain sesuka hati sebentar saja.
Aku ingin ayahku... melakukan semua hal yang dituntutnya padaku. Aku ingin ayahku... bicara tentang kesalahannya, tidak merasa paling benar.
Aku ingin ibuku... mencium dan memelukku seperti ia memeluk adikku".
Inilah jawaban seorang anak kecil ketika psikolog menyodorkan pertanyaan tentang orangtua yang didambakannya. Jawaban anak ini sungguh di luar dugaan saya. Jawabannya memang sangat sederhana. Sesederhana itukah kerinduan seorang anak? Saya tidak habis berpikir. Jika pertanyaan yang sama diajukan kepada anak-anak NTT, saya pikir anak NTT punya jawabannya tersendiri.
Anak NTT pasti punya masalah lain. Coba bolak-balik koran kesayangan kita ini. Hampir setiap hari ada berita kekerasan terhadap anak-anak. Dunia anak-anak begitu akrab dengan berita diperkosa, dipukul, kurang gizi, busung lapar, ditemukan bayi hidup atau mati di setiap sudut tempat, dan belum lagi masalah melek huruf dan AIDS. Lengkap sudah ketragisan dunia anak-anak.
Semua perlakuan salah terhadap anak ini telah mengakibatkan "pengerdilan" dunia anak secara sistematis. Dunia tanpa masa depan, impian dan harapan. Dunia yang kian suram ini tak pantas dihuni oleh anak-anak. Itulah sebabnya, tahun 2006 tema laporan tahunan situasi anak dunia UNICEF yaitu "Terlihat tapi Terabaikan". Perlakuan salah terhadap anak telah menjadi konsumsi publik. Sayangnya, realitas ini sering terabaikan.
Padahal, kita sudah produk UU No 23/2002 tentang perlindungan anak dan telah meratifikasi banyak konvensi anak. Tahun 2002/2003 UNICEF pernah melakukan suvai di NTB dan NTT. Hasilnya menunjukkan angka keseriusan perlakuan salah terhadap anak. Survai tahun 2002 melibatkan 125 anak. Survai ini berlangsung selama enam bulan, dan mencakup wawancara yang dipantau secara cermat. Survai ini mengatakan dua pertiga anak laki-laki dan sekitar sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan yang disurvai pernah diperkosa.
Dalam survai yang lebih luas cakupannya pada tahun 2003, yang melibatkan 1.700 anak, kebanyakan anak melaporkan pernah ditampar, ditonjok, atau dilempari sesuatu dan dimarahi dengan kata yang kasar dan jorok. Dalam hati kecilku berkata, gaya seperti itu sudah biasa bagi anak-anak NTT. Hal itu akan menjadi luar biasa kalau anak-anak tidak ditonjok, ditampar dan dicaci maki lagi oleh orangtua mereka. Apa itu mungkin yah?
Terry E Lawson (1997), mengklasifikasi empat macam perlakuan salah terhadapanak. Pertama, emotional abuse yaitu perlakuan keji secara emosional terhadap anak. Contoh saja, anak menangis minta dibeliin pisang goreng tapi orangtua malah cuek habis-habisan. Sampai anak itu sendiri berhenti menangis. Secara emosional anak merasa terluka karena tidak dipedulikan sama sekali. Amat sayang, kalau hal ini terjadi berulang kali.
Kedua, verbal abuse yaitu menggunakan kata kasar untuk anak seperti "kamu bodoh", "keparat" dan "setan" bahkan maki-makian. Tidak heran, kalau anak-anak mengenal kata maki lebih dulu daripada nama ayahnya sendiri. Lucu! Ketiga, physical abuse, terjadi ketika anak diperlakukan kasar secara fisik seperti ditampar, ditonjok, dipukuli bahkan dibunuh. Keempat, sexual abuse yaitu pelecehan seksual terhadap anak-anak. Kedua kategori terakhir ini tentu menakutkan. Persis, sebatas inilah pemahaman publik tentang pengartian tindakan kekerasan terhadap anak.
Konsepsi publik ini tak jarang meleset. Orang lebih menginterpretasi tindakan besar seperti kasus pemerkosaan, pembunuhan, pemukulan anak sampai mati, baru dikategorikan inilah wajah kejahatan sesungguhnya. Namun, ketika orangtua tidak memedulikan anaknya, tebang pilih kasih terhadap anak, memarahi anak dengan teguran verbal yang kasar, dan bersikap protektif berlebihan adalah hal sepeleh. Realitas seperti ini menjadi menu harian anak-anak di rumah. Apakah itu hal yang wajar?
Orangtua melihat pola didik ini masih dalam taraf kewajaran. Bahwa itu bagian dari pendidikan keluarga yang sudah diwariskan sejak dulu kala. Anak dipukul, ditonjok kalau melakukan kesalahan (reward punishment). Anak yang gagal dan bersalah perlu dimarahi tanpa dijelaskan mana yang salah dan mana perbaikannya. Sebaliknya, anak-anak yang jujur, berprestasi, dan berkelakuan baik kurang mendapat respek. Kata-kata sanjung dan puji-pujian begitu sulit terdengar dari mulut orangtua ataupun masyarakat sekitarnya. Bahkan, di sekolah sebagai garda terdepan pendidikan tunas bangsa juga menganut mekanisme didik yang sama.
Fakta ini "sedikitnya" benar. Coba kita bayangkan, berapa banyak dialek daerah di NTT yang punya kata "terima kasih". Mungkin bisa dihitung dengan jari. Lalu, bagaimana sampai nenek moyang kita tidak mengenal kata itu. Ataukah mereka tidak tahu menyanjung orang lain, yang pantas disanjungi. Memuji orang lain, yang seharusnya dipuji. Tapi, itu tidak berarti kita harus menyalahi nenek moyang kita. Setidaknya, ini menjadi kontribusi permenungan kita sekarang. Ternyata, ada banyak hal yang perlu direorientasi dalam pendidikan regenerasi baru kita.
Kembali ke kisah awal. Jika pertanyaan yang sama di atas, ditanyakan kepada anak-anak NTT: orangtua (baca: ayah, ibu, guru, pemerintah) yang bagaimana yang kamu dambakan? Maka, boleh jadi ada beberapa jawaban variatif. Jawaban yang terlahir dari sebuah jeritan hati dari sekian banyak anak NTT yang nasibnya kurang beruntung.
Pertama, kami ingin "orangtua" menyekolahkan kami setinggi-tingginya. Agar kelak kami menjadi pemimpin yang peduli terhadap masalah anak-anak miskin. Ribuan anak kurang gizi, busung lapar, buta huruf dan kesehatan yang memburuk tersebar di mana-mana tanpa pertolongan yang serius dari pemimpin. Terlihat tapi terabaikan!
Semoga dengan menyekolahkan kami, ada di antara kami yang akan menjadi perawat di desa-desa, dokter siap siaga 24 jam, guru yang tabah, hakim yang sejujur-jujurnya, DPR yang loyal kepada rakyat kecil, bahkan sekaligus menjadi bupati atau gubernur yang memperhatikan nasib anak-anak. Walaupun kami tahu, untuk mencapai cita-cita itu butuh belajar yang keras. Percayalah bahwa anak-anakmu akan bisa melakukan semuanya ini. Jika kami diberi kesempatan untuk bersekolah setinggi-tingginya.
Semoga dengan menyekolahkan kami, ada di antara kami yang akan menjadi perawat di desa-desa, dokter siap siaga 24 jam, guru yang tabah, hakim yang sejujur-jujurnya, DPR yang loyal kepada rakyat kecil, bahkan sekaligus menjadi bupati atau gubernur yang memperhatikan nasib anak-anak. Walaupun kami tahu, untuk mencapai cita-cita itu butuh belajar yang keras. Percayalah bahwa anak-anakmu akan bisa melakukan semuanya ini. Jika kami diberi kesempatan untuk bersekolah setinggi-tingginya.
Kedua, kami ingin "orangtua" menyediakan lampu neon (baca:listrik) sehingga kami bisa kerjakan PR, belajar menulis, berhitung dan bermimpi di bawah cahaya terang benderang. Sekian sering, kami bermimpi akan masa depan yang baik di bawah terang yang begitu suram. Kami merindukan betapa nikmatnya belajar di bawah lampu neon seperti apa yang diceritakan kawan-kawan yang biasa pulang dari kota. Belajar di bawah lampu neon seperti belajar di siang hari. Enaknya bukan main!
Selama ini, kami hanya belajar dengan lampu lentera atau pelita yang sebentar suram dan sebentar mati ditiup angin dari cela-cela dinding rumah. Konsentrasi belajar kami sekejap juga terusik. Belum lagi sekarang, harga minyak tanah semakin mahal, sehingga ibu kami sering membatasi waktu belajar. Katanya, belajar cukup siang hari. Belajar malam hari bikin habis minyak tanah saja. Kami pun terpaksa duduk bercerita di dalam ruang yang gelap pekat. Kapan kami seperti anak-anak di kota? Listrik, air dan sarana transportasi berkelimpahan. Sangat ironis!
Ketiga, kami ingin "orangtua" menjadikan rumah dan sekolah serta semua tempat publik ramah terhadap dunia anak-anak. Tak jarang, kami tidak dipedulikan oleh ayah-ibu. Mereka sering sibuk, terburu-buru dengan pekerjaan. Kadang kami menjadi korban kekerasan dan kemiskinan keluarga. Kapan saja, kami bisa menjadi obyek pelampiasan rasa amarah, kebingungan, kepenatan dan kepanikan atas situasi kehidupan ekonomi yang terseok-seok. Kapan ini berakhir?
Di sekolah, kadang guru cepat merasa bosan dengan kelambanan cara berpikir kami. Padahal, anak butuh proses pembelajaran. Kadang guru-guru menggunakan kekerasan untuk mengdongkrak kebebalan kami. Tapi, tak satu pun di antara kami angkat bicara. Tutup mulut adalah pilihan terbaik daripada guru-guru mengobok-obok kami lebih tragis lagi.
Di tempat publik, kami berharap diberi kesempatan yang seluas-luasnya dan dilindungi agar kami bebas mengekspresi diri kami. Kapan kami bisa menikmatipermainan kesukaan kami tanpa ditakut-takuti oleh kedatangan pemerkosa, penculik, pencuri dan perampok? Sekian sering tempat publik tak ramah terhadap dunia kami. Aksi kekerasan begitu akrab, perlindungan hukum begitu lemah, dan kami selalu dianggap tak berarti, menyerupai sampah yang menyesakkan (waste of place) dan menjadi sasaran tindakan asosial.
Inilah kerinduan yang terpatri dalam hati anak-anak, yang nasibnya kurang beruntung. Mendambakan "orangtua" yang bersikap ramah terhadap dunia anak. Kerinduan ini sejalan dengan tema Hari Anak Nasional 2007, Anak Indonesia: Cerdas, Sehat, Kreatif, Berakhlak Mulia dan Berbudi Pekerti Luhur. Semoga anak-anak NTT semakin Cerdas, Sehat, Kreatif, Berakhlak Mulia dan Berbudi Pekerti Luhur!
* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
(artikel ini di muat di Pos Kupang)
3 comments:
jawaban yg mungkin akan diberikan oleh setiap anak ....
apa adanya... jujur..
tapi pas buat mengetuk hati ayahbundanya
waktu...
mau mendengarkan...
berpikir seperti mereka, saat mereka ada di dekat kita
sadari bahwa kita pernah mengalami masa kecil, sedangkan dia masih butuh banyak perhatian, dan pengertian
pahami jalan pikiran mereka...
kenali dunia mereka...
bermain dengan imajinasi mereka..
berpikir sederhana...
maka anak-anak akan selalu mendapat tempat sesuai kemampuan tangan mereka untuk merengkuh...
hey guys thanks a lot for a noble coment...!
Post a Comment