JANGAN TERLENA DENGAN FLU BURUNG!

NTT positip terserang flu burung! Demikian, hasil verifikasi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional VI Denpasar, Bali, tahun 2004 hingga 2006. Setidaknya, ada tiga belas Kabupaten di NTT positip tertular virus Flu burung (H5N1) alias Avian Influenza (AI). Sekejap rasa takut dan cemas meracik psiko-historikku. Akankah sejarah “Holocaust Virus AI” di Spanyol (1918), Hongkong (1968), Singapura (1968), yang merenggut jutaan jiwa manusia kembali terulang?
Ganasnya Flu Burung
Keganasan virus AI lebih dasyat dari revolusi perang dunia II atau Nazi Jerman, atau perang Irak sekalipun. Ini bukan sekadar hiperbolik! Namun, fakta historis membuktikan hal itu. Pademi flu burung di Spanyol tahun 1918,1968 telah menewaskan sebanyak 20-40 juta orang. Dampaknya meluas jauh. Sebanyak, 675.000 orang Amerika meninggal dunia. Di mana 200.000 orang di antaranya meninggal dunia dalam bulan Oktober 1918. Dan, sebanyak 11.500 orang Australia meninggal dunia tahun 1919. Lalu, menyusul di Asia seperti di Hongkong 1968-1969 dan terakhir 1997 yang merenggut tak sedikit jumlah korban. Kemudian, tahun 2000-an penyakit ini merebaknya secara sporadis di kawasan Asia Tenggara.
Michael Rathford dalam bukunya The Nostradamus Code: World War III (2007) memprediksi abad 21 sebagai periode inisiasi Perang Dunia III (2008-2012). Di mana “natural holocaust ” (tsunami, gempa bumi, banjir, perubahan iklim, flu burung) menjadi musuh, evil dan “penjajah baru” yang mencabik-cabik ruang kenyaman manusia.
Prediksi Rathford ini memang tidak meleset. Kenyataannya, masyarakat dunia sekarang terciprat oleh panik “Perang Dunia III” . Misalkan saja, masalah warming global telah meresahkan masyarakat penghuni planet tunggal ini. Akan apa yang bakal terjadi 20 tahun ke depan jika bumi makin panas. Sementara kawasan Asia kebablasan dengan pademi flu burung. Apalagi dunia medis masih kecantol mendiagnosis virus ini sebatas diagnosa “kelinci percobaan”. Belum ada obat super efektif. Tapi, jumlah korban terus tergerus tanpa permisif.
Prediksi Rathford ini memang tidak meleset. Kenyataannya, masyarakat dunia sekarang terciprat oleh panik “Perang Dunia III” . Misalkan saja, masalah warming global telah meresahkan masyarakat penghuni planet tunggal ini. Akan apa yang bakal terjadi 20 tahun ke depan jika bumi makin panas. Sementara kawasan Asia kebablasan dengan pademi flu burung. Apalagi dunia medis masih kecantol mendiagnosis virus ini sebatas diagnosa “kelinci percobaan”. Belum ada obat super efektif. Tapi, jumlah korban terus tergerus tanpa permisif.
Hingga 6 Juni 2007, WHO telah merecord sebanyak 310 kasus dengan 189 kematian manusia di kawasan Asia yang disebabkan virus AI.
Di Indonesia sebanyak 104 kasus dengan 83 kematian. Sebanyak 139 kabupaten di 22 provinsi Indonesia telah menjadi zona pengendapan endemis Avian Influenza. NTT adalah salah satu di antaranya. Selain provinsi Jabar, Banten, DKI Jakarta, Bali, NTB, Lampung, Sumsel, Bengkulu, Bangka Belitung, Sumbar, Jambi, Sumut, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulsel dan Sultra. Saya sangat apresiatif keseriusan pemda Jabar yang merintis terbentuknya perda khusus tentang kasus flu burung. Itu berarti ada upaya solusi permanen terhadap kasus flu burung.
Bagaimana NTT?
Sekarang kita bisa paham bahwa dalam alur sejarah peradaban manusia ternyata virus AI berimplikasi fatalistik depopulatif manusia. Setidaknya, data-data kasus flu burung di atas bisa menggenjot “elan” solidaritas psikologis sosial kita (Maurice Duverger, 1979). Agar siapa pun terpanggil secara psikologis untuk lebih solider mencegah penyakit ini dan membangun dunia bersama yang lebih sehat dan nyaman untuk dihuni.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebanyak 13 kabupaten di NTT terserang virus AI. Walaupun TTS, Ende dan Manggarai Barat belum tertular. Tapi, hemat saya soal perkara waktu saja. Sebab, kondisi rekonfigurasi geografis dan faktor culture style NTT memungkinkan kegesitan penyebaran virus ini menukik secara menyeluruh.
Bagaimanapun kita butuh ekstra solidaritatif kolektif dan ketulusan sosial untuk menangani kasus ini. Sebab bukan tidak mungkin, kita akan terbentur dengan beberapa kecemasan parsial. Pertama, kecemasan itu tentu punya korelatif dengan operasi eleminatif ternak perunggasan. Sebab, berdasarkan riset bahwa unggaslah yang rentan mentransfer virus ini kepada manusia.
Jangan Takut Hilang Ayam
Persoalannya, hampir kebanyakan warga NTT pelihara ayam. Yang walaupun jumlahnya tidak banyak tapi hampir setiap rumah punya ayam. Apakah kita rela mengeksekusi semua ayam ini? Kalaupun, semua ayam ini divaksin antivirus flu burung tapi sampai kapan subsidi vaksin itu bertahan. Kedua, ritus budaya yang selama ini mengagung-agungkan ayam sebagai bahasa kekuatan adat dalam multiritualistik adat akan mengalami kehampaan makna jika ritual adat tidak tanpa ayam. Apakah kita bersedia menerima kenyataan itu?
Ketiga, kecemasan para pebisnis industri ternak dan warung makan ayam. Mereka akan kehilangan pekerjaan sekaligus kondisi ekonomi akan tergelatak kacau balau. Para pecinta daging ayam pun terpaksa harus mengurung selera makan daging kesukaan mereka. Namun, pada moment kritis eksistensial seperti ini, “spirit kehendak tulus” sosial (Schumpeter, 1957) akan teruji derajat pencapaiannya. Tidak ada paksaan. Yang ditonjolkan adalah kesadaran mengagumi hidup bersama secara tulus.
Logikanya sederhana. Apakah kita jauh lebih sedih jika ayam piaraan kita dibunuh ketimbang terpaksa kehilangan orang yang paling kita sayangi untuk selama-lamanya. Hanya, karena kita tidak tegah membunuh ayam piaraan kita. Namun, apalah artinya kemudian menangis terseduh-seduh meratapi kematian jika kita bersikap indiferensif terhadap solusi kemungkinan yang disodorkan sebelum bencana kematian menjemput, yang semestinya tidak terjadi.
Belajar dari kegopohan penanganan kasus anjing rabies beberapa tahun yang lalu, yang pernah menyerang sebagian wilayah NTT. Setelah jumlah korban berjatuhan semakin banyak baru kita terperangah. Baru kita sibuk mengeliminasi semua anjing. Konyol bukan main, bukan? Tapi mau apa dikatakan. Inilah taruhan mahal keteredupanya ketulusan sosial dan terkikisnya solidaritas psikologis publik kita. Semestinya, belajar dari kasus ini. Kita berjuang semaksimal mungkin agar tidak teperosot dalam lubang hitam yang sama.
Saya masih ingat kasus yang sama pernah terjadi di Hongkong tahun 2003-2004. Di mana pemerintah dengan ketat melakukan pengujian laboratoriun terhadap ayam impor dari daratan Cina masuk Hongkong. Pemerintah juga memberi alarm dalam tenggang waktu tertentu dan disusuli dengan ultimatum kepada masyarakat untuk membunuh semua ayam piaraan. Yang membandel diberi sanksi. Titik. Kecuali, para pebisnis dan peternak daging ayam demi kemudahan pengontrolan vaksinasi dan terpenuhinya suplai daging bagi masyarakat.
Rakyat justru merespon himbaun pemerintah secara tulus. Karena mereka sudah merasakan penderitaan dampak virus flu burung. Banyak anggota keluarga mati dan sebagian terpaksa diisolasi dari yang lain. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun korban AI dikarantina di kamar pengasingan dan sebagiannya di rumah sakit. Hanya, demi tidak tersebarnya virus ini ke pihak yang lain. Dan mereka tulus menghadapi kenyataan itu.
Setidaknya, pengalaman ini perlu dicontohi. Pertama, pemerintah semestinya mencari posibilitas solusi kemungkinan. Merancang perda khusus dalam kasus ini mungkin perlu dipertimbangkan. Sebab, dengan adanya perda itu nanti maka dasar pijakan kita jelas dan terarah serta terkontinuitas. Kedua, perlu mensosialisasikan kepada masyarakat apa dan bagaimana dampak virus flu burung. Dengan demikian bisa terbangun kesadaran solidaritas psikologis dan ketulusan sosial masyarakat. Ketiga, membangun kerjasama penanganan pencegahan pademi flu burung lintas kabupaten dan provinsi sangat diperlukan.
Keempat, kepada masyarakat diharapkan berpartispasi aktif dalam pencegahan penyakit ini dengan lebih mengasah ketulusan sosial. Termasuk, jangan sedikit-sedikit minta ganti rugi, hanya karena ayamnya minta dieksekusi oleh pemerintah. Mentalitas parasit itu perlu dilucuti. Demikian pun pendekatan pemerintah terhadap masyarakat.
Prinsipnya, fortite in re suwiter in modo, tegas dalam prinsip, lembut dalam cara. Artinya, gaya dan pesona akan kehilangan makna kalau pemimpin labil dalam prinsip. Perubahan terjadi di tangan pemimpin yang berprinsip tegas tapi berperangai lembut.
Semoga holocaust flu burung tidak terjadi di daerah kita, yang miskin ekonomi tapi kaya bencana !
Penulis, Staf Televisi TBN Asia tinggal di Manila
Penulis, Staf Televisi TBN Asia tinggal di Manila
(Dimuat di NTT Online 2008)
0 comments:
Post a Comment