Wednesday, May 7, 2008

GIZI BURUK DAN “LOST GENERATION”

Fidel Hardjo

"It is better to be a cow in Europe than to be a poor person in a developing country", (Stiglitz, 2006:85).

KORBAN gizi buruk di NTT kembali merenggut lima balita di Rote Ndao (Kompas, 7/3/2008). Hati kita serentak tergugah, terengah lalu terhanyut hilang. Ketika korban berikutnya muncul dan muncul lagi, reaksi kita tetap sama: tergugah - terengah - terhanyut hilang.
Reaksi dan cara kita sudah menjadi rutinitas sekenanya saja. Tanpa disadari korban terus berjatuhan, tolong jangan dianggap angin lalu saja! Ini penyakit serius yang men-trigger lost generation baru kita. Kita menghitung jumlah korban tak ubahnya menghitung biji kelereng. Bayangkan, tahun 2005 sebanyak 66.685 balita di NTT mengalami gangguan gizi (Pos Kupang, 10/3/2008).
Setiap tahun angka korban ini terus meroket. Jumlah angka korban pun tak jarang dipolitisir. Sampai kita tidak tahu mana data yang akurat, karena kalkulasi korban sudah kecantol dengan akrobat politik. Terlepas akurat tidaknya data korban tapi satu hal yang pasti, korban sudah eksis dan terus bertambah.
Ini salah satu bukti nyata bahwa para pemimpin kita memang belum punya tekad yang serius menyelamatkan nasib anak-anak gizi buruk ini. Apalagi, kebanyakan korban gizi buruk begitu akrab dengan keluarga miskin, kurang berpendidikan, dan tidak mengerti apa itu hidup sehat dan lain sebagainya.
Situasi batas inilah yang menyeret mereka tidak berdaya. Siapakah yang memedulikan nasib mereka? Mau mengemis bantuan ke samping, ke belakang, ke depan tapi semua tetangga, kurang lebih tertimpa nasib yang sama. Sama saja menggantung harap pada akar yang lapuk. Satu-satunya harapan mereka adalah pemerintah.
Pemerintah adalah 'kepalanya' rakyat. Fungsi kepala manusia sama persis dengan fungsi kepala (baca: pemimpin) pemerintahan. Kepala kita diberi dua mata, dua telinga, dua lobang hidung, dua otak kiri-kanan. Artinya, dengan kesempurnaan indrawi kepala, posisinya lebih tinggi berfungsi untuk mengatur tatanan tubuh agar berjalan secara maksimal.
Begitupun eksistensi pemimpin dalam arti sesungguhnya adalah 'kepalanya' rakyat. Sebagai kepala, ia harus mampu berdiri sama tegak, duduk sama rendah dengan rakyat, untuk mengatur tatanan sosial secara optimal. Ia melindungi dan mengupayakan keselamatan rakyat dalam situasi emergensi sekritis apa pun.
Kita sadar bahwa ada banyak banyak persoalan yang telah menyedot energi pemimpin kita. Tahun 2008, NTT sibuk dengan suksesi politik beruntun, mulai dari suksesi pemilihan gubernur sampai pemilihan bupati. Pusing tiada duanya. Sementara tahun 2009, kita sibuk dengan pemilu presiden, tentu lebih heboh. Bukan tidak mungkin, persoalan gizi buruk akan tinggal menjadi 'riak-riak kecil' yang bisa terlupakan.
Jangan memberi kesan, pesta politik jauh lebih penting daripada penyelamatan korban gizi buruk yang sedang berada di depan pelupuk mata kita. Pemerintah sebaiknya peka terhadap persoalan emergensi yang sedang mendekap rakyat. Nilai emergensitas itu sangat ditakar oleh impak kritikal penderitaan. Kalau korban gizi buruk sudah lebih dari 66.685 orang, itu bukan lagi penyakit biasa tapi itu sudah terkategori 'bencana' atau kejadian luar biasa. Mengapa?
Karena, selama ini kita sering melihat perspektif korban sebagai korban penyakit biasa. Implikasinya, cara dan solusi yang kita berikan juga biasa-biasa, bahkan terkesan paling meremehkan. Tak heran, hasilnya seperti apa yang kita saksikan sendiri sekarang, jumlah korban terus melambung. Dengan mendifinisikan secara tepat, situasi korban dalam perspektif 'bencana' maka akan membantu mindset dan attitude kita untuk bereaksi cepat, tepat dan efektif.
Penderitaan korban gizi buruk di NTT sama halnya nasib para korban gempa bumi atau bencana alam, yang pernah menghantam beberapa belahan nusa Flobamora ini. Korban jiwa berjatuhan. Padahal, semuanya masih bisa diantisipasi sedini mungkin. Hanya bedanya, korban gizi buruk menyerang dan merenggut korban satu persatu dalam barisan antrean yang panjang.
Tapi, kalau jumlah korban dihitung-hitung maka jumlah korban gizi buruk boleh jadi lebih banyak daripada korban dissaster yang pernah menghempas kita. Lima korban anak gizi buruk dari Rote Ndao baru-baru ini, hanyalah gunung es yang mengindikasi bahwa penyakit gizi buruk di daerah kita memang sudah pada level parah.
Inilah realitas critical point yang perlu mendapat concern ekstra dari pemimpin kita. Situasi emergensitas terindikasi oleh berjejernya barisan para korban yang sudah dan sedang menuju liang lahat. Pada umumnya, para korban adalah anak-anak balita, yang tidak mengerti apa-apa akan destini kehidupan mereka.
Kalau saja, mereka disuruh untuk memilih: apakah mau dilahirkan di wilayah gersang seperti NTT ini atau tidak, mungkin saja mereka memilih untuk tidak memilih dilahirkan. Mengapa? Karena, anak-anak ini dilahirkan secara miskin dan dibesarkan pula secara miskin. Selain keluarga miskin melarat, pemerintah juga pelit hati untuk mengurus nasib mereka.
Padahal, anak-anak ini menjadi tiang penyangga nasib NTT ini ke depan. Dari sekian anak-anak ini, ada banyak potensialitas yang mereka miliki untuk menyangga keberlanjutan NTT ini melalui prestasi, talenta dan kecerdasan mereka. Mungkin saja, ada di antara mereka yang genius di bidang pertanian, kelautan, hightech, bahkan astronot sekalipun.
Tapi, sayangnya kita tak peduli dengan nasib mereka sekarang. Semua talenta, kecerdasan dan prestasi mereka, kita kuburkan pagi-pagi dengan ketidakpedulian. Itu berarti secara tidak langsung kita menggiring NTT ini memasuki babak gelap yaitu babak lost generation, yang memangkas berlahan-lahan masa depan propinsi ini. Maka, benar kata Stiglitz, lebih baik menjadi sapi piaraan di Eropa daripada menjadi anak-anak di negara miskin, apalagi menjadi anak-anak NTT.
Sebelum korban gizi buruk terus berjatuhan, sebaiknya pemerintah mengambil langkah antisipatif signifikan. Paling tidak, kita berupaya menyelamatkan masa depan NTT tercinta ini, dengan menyelamatkan balita yang sedang bergulat dengan penyakit gizi buruk ini. Kita sering terbentur dengan masalah dana. Apalagi, kita hanya berpasrah dengan proposal dana ke Jakarta. Kalau dana itu belum dikabulkan atau dicairkan maka entah sampai kapan kita menunggu dan menunggu.
Penyakit menunggu ini (cargo cult mentality) menurut Sosiolog Eri Seda, menciptakan kesadaran palsu (false consciousness). Kita pasrah miskin, bodoh dan tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya. Sampai kapan? Mengapa kita tidak bisa berbuat lebih? Dana dari pusat digulir, lalu kita ramai-ramai beli biskuit dan susu, kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga anak-anak korban gizi buruk. Bagi-bagi susu dan biscuit tidak menyentuh persoalan sebenarnya.
Mengapa kita tidak bisa lebih kreatif memasak sumber makanan yang merupakan hasil keringat kita sendiri. Daerah kita bisa tanam jagung dan umbi-umbian. Manfaatkan produksi lokal ini.Kita bisa mengelola jagung dan umbi-umbian menjadi makanan yang berenergi bukan sekadar menyuplai biskuit dan susu. Potensi laut kita juga masih perawan. Lautan kita kaya akan banyak ragam ikan. Mengapa kita tidak bisa mengerahkan kekuatan daerah untuk memanfaatkan potensi laut ini?
Masyarakat diberi pendidikan gratis untuk terjun bekerja sebagai nelayan. Dengan demikian, selain kita dapat jual ikan dan kita sendiri bisa makan ikan sebagai makanan yang bergizi. Dengan demikian dana bantuan dari pusat dikonsentrasikan kepada biaya penelitian. Penelitian terhadap penyakit gizi buruk ini sangat diperlukan. Agar kita tahu data dan formula yang akurat dan selanjutnya dapat menentukan kebijakan yang tepat. Dana ini juga bisa dipakai untuk biaya datangkan dokter ahli dengan pengobatan gratis kepada rakyat miskin. Bukan untuk beli biskuit, susu dan permen, lalu habis perkara.
Inilah yang dinamakan kreatif. Seorang pribadi kreatif berjiwa optimisme. Ia melihat kesempatan dalam setiap kesulitan bukan sebaliknya melihat kesulitan di setiap kesempatan (Winston Churchil, mantan Perdana Menteri Inggris). Orang kreatif bukan hanya tahu mengonsumsi, tapi selalu eksplorasi dengan kreativitas baru. Lucuti mental konsumtif kita.
Dari laporan Sri Hartati Samhadi di Kompas (23/12/06) tentang busung lapar di NTT menyatakan, menggerojok dana ke NTT seperti 'menggerojok air' ke padang pasir. Padahal, setiap tahun dana yang digelontorkan ke NTT mencapai Rp 4,5 - Rp 5 triliun. Namun kesejahteraan tak membaik. Mengapa? Karena, kita tidak punya komitmen sejati untuk mengelolah uang itu secara efektif dan tepat sasar.
Oleh karena itu, marilah kita bahu-membahu menanggunglangi penyakit gizi buruk di NTT dengan komitmen yang serius. Korban gizi buruk adalah bencana, bencana lost generation NTT! *

Penulis, Fidel Hardjo, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.
(Dimuat Di Pos Kupang, 18/3/2008)

0 comments: