"Panes et Circus"
(Mencermati Romantisme Janji Politik Pilkada NTT)
Penulis, Sarjana Filsafat Ledalero, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
TAHUKAH Anda bagaimana mencuri simpatik rakyat? Cukup berilah roti dan circus (panes et circus)! Demikian, strategi politik yang diusung oleh Julius Caesar, yang dijuluki "Father of the Fatherland" ribuan tahun yang silam, untuk menggasak kebuasan rakyat Romawi, terenyuh di bawah bola kekuasaannya.
Menurutnya, mengapa rakyat sering ngamuk dan galak, jika kalau bukan lapar. Karena itu, nomor satu adalah rakyat mesti diberi makan (panes). Rakyat yang kenyang akan mudah menjadi penurut bahkan (tak tanggung-tanggung) menjilat kaki Anda.
Kedua, setelah rakyat kenyang, ada tendensi berikut, yang tidak boleh disepelehkan yaitu rakyat yang kenyang butuh rileksasi (circus). Untuk itu, perlu diselenggarakan pesta rakyat, yang dikenal dengan pesta circus Atena, sebagai cikal bakal lahirnya pesta olimpiade, yang tahun ini dirayakan di Bejing.
Dalam atraksi ini, dipilih beberapa budak perkasa, untuk bertarung dengan singa buas, yang sedang lapar hebat, terkurung di arena circus. Atraksi ini dipertonton kepada publik, untuk mengalihkan konsentrasi rakyat, dari segala "kebobrokan istana" dengan menyuguhkan atraksi yang mendebarkan publik.
Ketika rakyat sedang tergelayut dalam kegembiraan, maka apa pun perkara hidup, kegelisahan dan kebosanan hidup akan dikubur sekejap. Perilaku jahat sang pemimpin, yang sama sekali biadab pun, bisa disulap menjadi komedi. Gosip politik pun "dipental", dengan gosip (semacam "reply") seputar pesta yang menegangkan itu.
Politik Panes et Circus
Kisah politik Romawi kuno di atas tentu sangat relevan untuk mencermati janji-janji politik (kampanye politik) para kontestan pilkada (cagub/cabub) di NTT selama ini, baik yang sudah-sudah, maupun yang sedang heboh sekarang, bahkan yang sebentar lagi akan siap meniup peluit ketel mereka masing-masing, bertarung dalam circus kampanye politik.
Jejak kampanye politik kita tiap pilkada tidak pernah berubah. Ada janji politik, bagi nasi bungkus (panes), ada hiburan massal, joget-jogetan dan artis (lokal) pun diundang (circus). Bahkan lebih celaka lagi, tak jarang dibuka jurus black campaign (kampanye hitam) yang berbasis pada isu-isu privat untuk melakukan pembunuhan karakter (character assassination) kandidat lain atau elit politik atau partai tertentu. Betul-betul potret telak dagelan politik "panes et circus".
Padahal, ujung-ujungnya kampanye politik itu hanya ingin mencuri simpati rakyat, bahkan memberangus lawan secara tidak etis lalu menguasainya. Namun, sadarkah kita hampir 90% janji-janji politik yang sudah-sudah, tak satu pun sukses dijalankan? Rakyat kecewa, mau apa dikata, selain garuk kepala, seraya berseloroh, coba kalau saya bukan pilih dia, menyesalnya bukan main. Terasa, habis manis sepah dibuang.
Giliran pilkada berikutnya tiba, lagi-lagi terperosok kesalahan yang sama. Rakyat tidak sedikit pun jera. Lagi-lagi, pilih kandidat yang kurang lebih memakai strategi politik panes et circus (bagi nasi bungkus, joget-jogetan dan minum-minuman). Seakan-akan, hidup yang selalu disemaraki gratis nasi bungkus dan pesta adalah transendensi kehidupan riil, yang bakal "dijanjikan" kemudian hari.
Nyatanya, rakyat selalu gigit jari. Inilah persoalan krusial kita, setiap pilkada tiba. Bahwa, janji-janji politik atau lebih keren disebut visi misi para kandidat pemimpin, yang selalu dipekakkan ke telinga rakyat begitu menyihir rakyat tapi sangat sulit diaktualisir.
Tidak salah punya visi misi yang indah. Hanya jangan beri kesan, "memelintir" visi misi yang indah dan bombastik itu jauh lebih penting, daripada menimbang, apakah kemudian hari, janji-janji politik itu, bisa direalisasikan atau tidak. Alhasil, seribu satu macam janji politik itu, hilang tanpa membekas. Buktinya, sampai detik ini, NTT masih bertengger pada urutan "hampir bontot" propinsi termiskin di Nusantara ini, setelah posisi Papua.
Jujur saja, kalau kita kumpul-kumpul visi-misi politik para kandidat pemimpin (baik bupati maupun gubernur NTT) dari periode ke periode, sudah hampir membubung ke kaki langit. Semua janji politik itu, bunyinya indah-indah bahkan over bombastik. Semuanya, teken isu keren, seperti perbaikan ekonomi, kesehatan, pendidikan, penuntasan korupsi, perbaikan nasib petani, listrik/jalan masuk desa, reboisasi, proyek air bersih, et cetera.
Tapi, kenapa NTT ini masih kebablasan dengan isu-isu yang sama, atau meminjam istilah Megawati "republik poco-poco" maju dua langkah, mundur dua langkah. Di manakah janji-janji politik itu? Mengapa janji-janji politik itu kian hari kian sulit mendongkrak kesuraman hidup rakyat NTT? Jawabannya sederhana, karena cara berpolitik kita masih tereuforia oleh politik panes et circus. Di mana, aspek circus masih "diunggulkan" daripada pengfokusan janji politik yang bisa diwujudnyatakan.
Fokuskan janji politik
Sebenarnya, bukan soal minimnya kualitas janji politik kita yang menyebabkan gagal diaktualisasikannya. Tapi, memang kita bingung dengan janji kita sendiri, sebab kita mengangkang dengan seribu satu macam janji. Seakan-akan kandidat yang mengantongi banyak janji adalah kandidat yang bakal menggiring kita ke gerbang kesuksesan.
Padahal, sejarah yang sesudah-sudahnya sudah membuktikan. Bahwa janji yang banyak-banyak itu, bukan hanya bikin kita bingung, tapi susah juga untuk diaplikasi. Mengapa, para kandidat kita tidak berani mengusung fokus satu janji? Sebut saja, untuk cagub periode 2008-2013, kita fokus tuntaskan masalah kemiskinan secara detail-komprehensif. Kita mesti komit dan konsentrasi dengan satu janji ini. Ditambah bekerja ekstra keras, maka soal keberhasilan adalah perkara waktu saja. Periode berikutnya, kita alihkan fokus kepada perbaikan masalah pendidikan dan seterusnya. Step by step, slowly but surely (sejengkal demi sejengkal tapi pasti)!
Akhirnya, kita bisa katakan, kita cukup butuh empat atau lima figur pemimpin NTT menuju visi Indonesia 2030, jika setiap mereka usung satu-satu janji politik (entah ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, bukan raut semuanya) maka kita bisa tarik nafas legah, bahwa bakal NTT ini, di tahun 2030, sudah bebas dari melek huruf, kurang gizi, miskin, bencana alam dan masalah-masalah lainya. Yang penting komitmen politik kita terfokus.
Wajah pucat lain dari politik panes et circus adalah di mana diyakini klimaks politik plus demokrasi : sekadar bagi nasi bungkus, borong janji politik, menang pilkada dan rengkuh jabatan. Implikasinya, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab serta pengabdian selama jabatan berlangsung menjadi prioritas sekunder. Tidak heran, sekalipun usia NTT sekarang sudah lewat dari 50 tahun, tapi kualitas hidup rakyatnya sangat jauh dari harapan, pembangunan loncat di tempat, masalah sosial bertumpuk-tumpuk.
Oleh karena itu sudah saatnya rakyat sadar, bahwa jangan terbuai memilih kandidat yang mengobral politik panes et circus. Pilihlah kandidat yang mengusung satu janji! Satu janji saja, sudah sulit diwujudkan, apalagi dua, tiga, empat dan seterusnya, pasti lebih sulit! Demikianpun, para kontestan, lakoni kampanye politik yang bisa membangun (bukan utopia) dan mencerdaskan rakyat. *
0 comments:
Post a Comment