Thursday, May 8, 2008

“SUARA DIAM” DI ATAS TEMBOK RAKSASA CINA





Fidel Hardjo


Di atas Tembok Raksasa Cina terpancang sebuah billboard besar bertuliskan One World One Dream (Satu Dunia Satu Mimpi). Ribuan pelancong asing tiap hari sulit mengelakan matanya memana billboard fenomenal itu. Tak sedikit pengunjung berdecak cela-tanya, apakah impian Cina sesungguhnya? Pertanyaan itu adalah “ole-ole” yang dibawa pulang para pelancong ke negeri asalnya.

Bagi pelancong yang sedang bubrah dengan demam olympic Bejing 2008, tentu tahu pasti “One World One Dream” yang dipajang di tali pusar Tujuh Keajaiban Dunia itu adalah motto olimpiade Bejing 2008. Impian Cina diliris indah dan sangat sentimentil dalam lirik lagu pembukaan olimpiade Bejing 2008: Forever Friend (Berkawan Untuk Selama-lamanya).

Namun, siapa tak sangka jika di balik motto menyejukkan itu, terselip “suka-duka” yang menciut bilik terdalam negeri Tirai Bambu itu. Cina tergagap-gagap membendung emosi publikya, lantaran tak sabar merayakan olimpiade Bejing dan menahan amarah terseruaknya masalah Tibet sulit ditemukan titik simpulnya.

Tibet bak duri dalam daging bagi Cina. Dalai Lama dan pendukung setianya di Tibet memang pintar berstrategi menggoyang pemerintahan Cina. Peristiwa kekerasan Lasha baru-baru ini, adalah puncak upaya Dalai Lama dan simpatisannya untutk menjerit bantuan Internasional atas masalah HAM di Tibet, yang sering dicap “keparat pengusik” oleh Bejing.

Karena Tibet, dunia pun terkotak-kotak. Kiritikan dan ancaman datang berlapis-lapis menampar Bejing. Ada negara, yang terang-terangan mengajukan ancaman boikot acara pembukaan olimpiade Bejing. Sebagian lagi, ancam boikot olimpiade secara keseluruhan. Bahkan, ada juga yang ancam tidak mengirimkan para atlet olimpiade. Apakah ini solusi terbaik? Wait and see!

Syukur bahwa di Indonesia tidak terjadi demo pemboikotan olimpiade Bejing. Harap ini menjadi indikator keharmonisan relasi Bejing-Jakarta yang lebih menyejukkan dan konstruktif-produktif .

Motto olimpiade Bejing mengandung pesan universal. Mimpi merajut tali persahabatan abadi. Pesan sejuk ini merangsang cakrawala saya melayang-layang ke NTT. Semoga spirit olimpiade Bejing 2008 menghembus sampai ke NTT. Panggilan untuk bersatu membangun NTT, lebih-lebih ketika musim Pilkada dan Pemilu tiba, rakyat sering terkotak-kotak menurut suku dan asal.

Sebut Bejing, teringatlah saya akan suku Tionghoa di NTT. Suku yang cukup “berpotensial” tapi masih “susah diakui” legitimasinya secara publik. Keberadaan suku Tionghoa di NTT tak ubahnya “mesin ekonomi” di belakang layar, yang memberi warna spesial pertumbuhan ekonomi daerah. Tekad dan kerja keras mereka dalam “diam” menjadi sumbangan berharga pertumbuhan ekonomi NTT.

Namun, sayangnya kita belum merangkul dan memberi perlindungan “hukum yang utuh” terhadap mereka. Ketika terjadi gejolak sosial di daerah kita, suku Tionghoa selalu saja “dikambinghitamkan” dan menjadi sasaran jarahan harta toko mereka. Kejadian ini berulang-ulang. Mereka tidak protes. Diam, mungkin jauh lebih menyelamatkan daripada “berkokok” di depan publik. Bahkan, mereka terkesan harus “membeli” perlindungan untuk hidup nyaman.

Tidak heran ruang gerak mereka begitu “sempit” bahkan terkesan orang asing di negerinya sendiri. Sebab takut kapan saja bisa menjadi korban gejolak sosial. Perlindungan hukum yang “kurang utuh” membuat mereka enggan muncul ke publik. Padahal, mereka adalah jelas-jelas warga kelahiran NTT, yang hanya kebetulan nenek moyang datang dari daratan Cina.

Implikasinya, ada banyak aset (human capital) suku Tionghoa yang belum terkelola untuk perbaikan hidup publik. Aset ini kalau “dikelola” baik oleh pemerintah lokal untuk membangun daerah maka akan mendatang hasil yang luar biasa. Tergantung intens perlindungan dan sikap nondiskriminatif kita, untuk memotivasi suku Tionghoa bergerak di segala lini kehidupan publik.

Tahun Imlek 2559 kali lalu, adalah salah satu perubahan signifikan yang perlu diapresiatif. Ada sejumlah aktivitas sosial suku Tionghoa patut ditulis dengan tinta emas. Pertama, pergelaran sekaligus peresmian “Borangsai Naga Timur” di Kupang. Bahkan, ketua paguyuban Tionghoa Charles Pitoby menjelaskan, sekalipun budaya Barongsai adalah kultur Cina tapi sekarang ia menjadi kebanggaan budaya orang NTT (PK, 13/1/2008).

Kedua, pergelaran aksi sosial pembersihan pantai Pede dan sumbangan material pembangunan Mesjid di Gorontalo oleh paguyuban suku Tionghoa di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Kompas, 7/2/2008). Menurut hemat saya, aksi sosial ini adalah kemajuan positip luar biasa, yang patut ditumbuhkembangkan. Ini sejarah peretas kerinduan suku Tionghoa memajukan daerah kian terkonstruk. Sejauh mereka diberi perlindungan hukum sama dan diberi kesempatan seluas-luasnya.

Ketiga, di Ruteng Manggarai, paguyuban suku Tionghoa mengadakan aksi sosial tanam seribu pohon (Kompas, 5/2/2008) adalah kebanggaan yang perlu diteladani oleh setiap orang, suku atau kelompok apa saja. Artinya, suku Tionghoa memiliki “sense of belonging” atas daerahnya, yang menuntut pengafirmasian publik. Bahwa, mereka bukan orang asing (nonpribumi) di NTT seperti pemahaman pincang kebanyakan masyarakat. Ini kerinduan lama, yang sudah lama dinantikan.

Keempat, Paguyuban Sosial Warga Tionghoa Indonesia (PSWTI) NTT Tionghoa membantu korban gizi buruk di Rote-Ndao baru-baru ini adalah salah bukti ketajaman concern publik suku Tionghoa terhadap situasi di sekitar kita. Sejauh kita merangkul dan memberi kepercayaan kepada mereka maka persoalan dan penderitaan bersama bisa dihadapi dengan energi bersama.

Ini beberapa aktivitas publik suku Tinghoa yang sempat direkam media. Masih ada aktivitas sosial dan individual lain yang tak sempat direkam oleh media. Hanya Tuhan yang tahu. Kita harapkan agar suku Tionghoa lebih elegan tampil ke ranah publik di masa yang mendatang.

Semoga “suara diam” One World One Dream: Forever Friend di atas Tembok Raksasa Cina menjadi sapaan perekat antarsuku, agama dan budaya kita. Khususnya, concern yang mendalam akan suku Tionghoa yang sudah lama eksis di NTT tapi belum dirangkul secara penuh oleh pemerintah dan masyarakat luas sebagai salah satu “batu penjuru” pembangunan NTT.

Betapa indahnya “Forever Friend”, lihatlah “bola mata”. “Ketika tidur mereka terkatup bersama-sama. Ketika bangun mereka terbuka bersama-sama. Ketika sedih mereka menangis bersama-sama. Ketika gembira mereka kedip bersama-sama. Ketika sakit mereka menderita sama-sama. Ketika tutup usia mereka pun tutup sama-sama”.

Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila.

0 comments: