Wednesday, May 7, 2008

SOLIDARITAS HATI



Fidel Hardjo

Perayaan Sumpah Pemuda baru kita lewati. Semua pemimpin baik dari pusat ibu kota maupun di desa-desa punya intisari pidato yang sama. Bagaimana mereaktualisasi ikrar Bertanah air, Berbangsa dan Berbahasa satu yaitu Indonesia 79 tahun yang silam ke dalam situasi kita sekarang.

Generasi 28” menitip sebuah impian besar di atas pundak kita, agar dengan modal “three in one” ini, kelak Indonesia mengukir kejayaan seluas-luasnya. Kurang lebih 79 tahun sudah, pintu gerbang menuju kejayaan itu, yang berpuncak pada 17 Agustus 1945 telah dibuka seluas-luasnya, sampai kita bisa berdiri tegak sekarang dan di sini, NKRI. Hanya, mengapa kejayaan bangsa itu tak kunjung-kunjung tiba?

Solidaritas “Semu”

Makna Sumpah Pemuda boleh “dimaknai” sana sini untuk mendapat makna lebih segar tapi sejatinya adalah aura persatuan bangsa. Ada keresahan, peloncatan generasi yang tidak dibekali oleh warisan sejarah yang baik menyebabkan generasi baru seperti sleepwalkers (Lynne V. Cheney, 1996).

Akibat “berjalan sambil tidur” maka mosaik ikrar Sumpah Pemuda tidak lagi dipandang secara utuh oleh generasi sekarang. Ia dipandang sekadar taken for granted sebagai warisan “sejarah persatuan” (wilayah, hukum, catatan sejarah di sekolah) dan tanpa “dikelola” untuk meraih cita-cita bangsa. Kita lebih merasa dipersatukan oleh “benda” sejarah daripada ikatan psikologis.

Implikasinya, lahirlah solidaritas semu. Di mana, banyak orang mengklaim suku, daerah, agama, partai ataupun dialeknya sebagai tanah air, bangsa dan bahasa “Indonesianya mereka”. Benar apa yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa Indonesia termasuk negara yang “low trust society”. Ada beberapa fenomen “sedikit” membenarkan hal itu.

Pertama, konsep bertanah air satu rapuh. Perang antarsuku di Papua terus berkecamuk sampai hari ini adalah satu contoh bagaimana konsep bertanah air satu itu begitu rapuh. Orang dikotak-kotak. Kami dan mereka. Suku asli dan pendatang. Pribumi dan nonpribumi. Orang Flores merantau di Jawa, urusan KTPnya dipersulit.

Sebaliknya, orang Jawa masuk Flores kembali diperlakukan sama. Bangunan Mesjid di Batak dipersulit sementara bangunan Gereja di Jakarta lebih sulit daripada bangun motel pijat. Begitupun di daerah lain. Lingkaran saling mempersulit pun semakin tajam. Lalu, di mana tanah air bersama itu? Kalau kita tidak sepenuh hati menerima satu dengan yang lain di atas tanah air tumpah darah yang sama.

Belum lagi, pengelolaan tanah air yang amburadul. Kasus lumpur Sidoarjo yang hanya menunggu waktu untuk menenggelamkan sebagian manusia dan Tanah Air ini, terasa “angin lalu” saja. Rasa simpati bangsa sayup-sayup terdengar. Ini baru pemandangan di pusat negara. Belum terhitung pengelolahan tanah air di daerah yang menyisahkan seribu satu macam persoalan deekologis, depopulatif, dan degradasi identitas masyarakat lokal.

Kasihan tanah air yang kaya raya ini, dikelola oleh orang-orang egois dan narsis. Tidak pernah dipikirkan apa blueprint yang disiapkan untuk 20 tahun ke depan. Yang dipikir adalah bagaimana memenuhi perut sekarang. Sekali lagi, perut, perut dan perut! Akhirnya, kita hanya mewarisi generasi yang perutnya besar daripada otaknya besar. Boleh Anda menebar senyum di sini tapi pulang rumah sebentar, jangan malu-malu makan banyak. Yang penting jangan lupa prinsip “makan untuk hidup bukan hidup untuk makan”

Kedua, konsep berbangsa satu pun terkoyak. Aksi robekan bendera Merah Putih terjadi di Belanda oleh pejuang Papua Merdeka (youtube). Bagaimanapun Anda dan saya pasti merasa hati gatal ketika menyaksikan orang kita sendiri dengan semena-mena merobek-robek bendera kebangsaan kita. Bahkan, dalam acara perobekan itu disertai caci maki. Tak berhenti di situ. Pengibaran bendera RMS di depan Presiden di Ambon kali lalu sangat meyayatkan. Hanya di Indonesia yang terjadi demikian. Generasi apa macam itu? Lebih parah lagi, kembali bangkitnya GAM setelah kedamaian bersemi di Aceh. Mengapa luka lama kembali digores dan luka baru terus diciptakan?

Rasa benci terhadap negara begitu mudah tersulut. Ada-ada saja upaya menjelekkan negara dan pemerintah. Padahal, kita sendiri enggan bekerja keras. Lalu, selebihnya menuding pemerintah penyebab kemiskinan. Enggan sekolah dengan serius. Senin kamis masuk sekolah, sisahnya nongkrong. Lalu, sebentar turun ke jalan protes pemerintah kenapa ada pengangguran. Kenapa itu kanapa ini...!

Ketiga, konsep berbahasa satu terkesan tidak menyatukan. Aksi hujat menghujat pemimpin dan partai politik di pentas publik tak karuan. Bahasa emosi dan marah-marah adalah pemandangan yang lebih enak ditontonkan kepada publik daripada bahasa santun, bijak dan toleransi. Anak muda pun tak ketinggalan. Kata-kata sejuk tidak mempan untuk memecahkan persoalan sosial maka tawuran dan demonstrasi berujung pada aksi kekerasan adalah pilihan pahit yang memiluhkan.

Bahasa yang satu dan sama itu lebih banyak digunakan untuk mengeritik daripada memberi pujian kecil. Akhirnya, kita terceraiberai. Bikin blok sana sini entah menurut suku, dialek ataupun daerah. Karena blok semakin kuat maka pemakaian bahasa daerah sulit dihindar. Menyebabkan orang lain merasa asing dan menyendiri di tengah keramaian.

Saya pernah alami ketika teman saya sekantor berbicara bahasa mereka sendiri maka rasanya dunia begitu kejam. Akhirnya saya memilih ke toilet saja. Itu baru contoh kecil. Artinya, bagaimana mengukir kejayaan bangsa jika pemimpin dan rakyatnya terdiridari kerumunan yang terceraiberai oleh karena faktor suku, bahasa, agama, partai dan sebagainya yang sangat kental. Adakah paradigma baru yang bisa mengangkat kembali jiwa persatuan bangsa ini?

Solidaritas Hati

Sara Paddison, dalam bukunya The Hidden Power of the Heart (1997) mengatakan setiap orang punya inner antena yaitu hati. Inner antena itu dilukiskannya sebagai mata air kehidupan, mengalir jauh dan punya kerinduan bersatu. Darinya, solidaritas hati mengalir. Ia mengalir seperti air dari kaki gunung, menyusui kehidupan meski ia melewati lembah dan ngarai, terjulur di tebing tinggi, tersumbat, tergenang dan berlahan-lahan bersatu membentuk samudera luas. Di sanalah kehidupan penuh damai dan cinta bersemi.

Solidaritas hati pun demikian. Ia mesti bergerak dari dalam diri. Lalu, berlahan-lahan mengalir ke luar. Ia menyapa orang lain dengan kehidupan yang menyejukkan. Ia bisa lentur menyantuni kebhinekaan. Jalannya berkelok-kelok, terjal dilaluinya, bahkan melelahkan tapi ia menjanjikan samudera kehidupan luas.

Solidaritas hati menjanjikan air kehidupan. Samudera luas tidak terjadi dengan dirinya sendiri. Ia terbentuk dari riak-riak sungai kecil, yang mengalir dari kejauhan menuju kejauhan. Ia tidak egois. Setiap perjalanannya menyusui kehidupan yang dilewatinya. Ia tidak menabrak batu penghalang yang keras dengan kekerasan. Ia justru mengandalkan kelenturannya. Ia tidak melawan tebing yang tajam dengan teriakan penuh caci maki. Justru, hanya riak kecil penuh bersahaja terdengar.

Ia sebentar tersumbat dan tergenang di tengah lobang kegelapan. Tapi, Ia sadar perjuangan sangat dibutuhkan. Mengumpulkan tenaga adalah adalah upaya membebaskan dari kebusukan, kesengsaraan, kemalasan dan kematian daripada memaki diri sendiri atau menyalahi orang lain.

Namun, semuanya berlalu. Tebing yang tajam berlalu dan kegembiraan samudera menanti. Batu keras berlalu dan kelembutan samudera menyambut. Kebusukan berlalu dan aroma sumudera menjemput. Kemalasan berlalu dan kemegahan samudera membentang luas. Lubang kematian berlalu dan samudera kehidupan yang indah, damai dan penuh cinta bersemi.

Tak satupun aliran sungai mengkapling samudera adalah miliknya. Asal gunung boleh berbeda, nama sungai boleh berbeda, tapi substansi airnya tetap tawar. Tujuannya pun tetap satu yaitu menghidupi kehidupan di samudera luas. Samudera pun rela membakari dirinya oleh sengatan matahari demi menghasilkan awan, lalu turun hujan dan akhirnya gunung membidani kelahiran anak-anak sungai dan samudera pun menjadi hamparan air tak berkekurangan.

Demikianlah, solidaritas hati diandaikan. Ia lahir bergerak dari kedalaman individu, lalu keluarga, masyarakat dan negara. Itulah sebabnya, dari dulu Blaise Pascal terlalu percaya bahwa “Logika Hati” mampu mengubah segala-galanya termasuk yang tidak dimengerti oleh rumusan otak.

Sumpah Pemuda dan pidato berbusa-busa boleh berlalu tapi solidaritas hati terus mengalir. Mengalirlah sampai sejauh-jauhnya. Terjal, tebing, batu, lobang akan berlalu selagi kita tetap bersatu. Maka, bangsa dan daerah kita akan menjemput “samudera luas” sebagaimana impian yang dititipkan oleh pendahulu kita.


Penulis, Staf Televisi TBN of Asia Tinggal di Manila


0 comments: