Wednesday, May 7, 2008

“SELAMATKAN RUMAH GLOBAL”


(Awasan Bersahaja untuk Pengontrak Rumah di “Ujung Timur”)

Fidel Hardjo

Bumi ini adalah global village (kampung global). Pelekatan nama ini diyakini benar berkaitan dengan apa yang disebut “globalisasi”. Tapi, anehnya para ekolog lebih suka menyebut bumi ini sebagai “rumah global”, global home (Jhon McConell - Founder Hari Bumi Sedunia – eks Senator AS, dengan motto agungnya: “Justice, Peace, Care Earth”, 1970).
Bumi ini memang lebih pas disebut “rumah global”. Ia adalah tempat kita dilahirkan, bermain, berkumpul, menggantung nasib, meraih mimpi, merayakan kehidupan, menenangkan jiwa yang gelisah dan menjadi “kemah terakhir” di mana tubuh manusia kembali serupa dengan tanah dan debu, lalu jiwanya naik “ke atas sana” .

Sebut rumah, tentu ada kamar-kamarnya. “Kamar-kamar” itu, kita sebut, apa yang dinamakan negara-negara sekarang. Setiap kamar pun masih ada “sekat-sekat”. Sekat-sekat itu kita beri nama provinsi, kabupaten, kecamatan, dan seterusnya, sesuai dengan selera nama diberikan.
Jadilah kita sebagai satu keluarga besar di atas bumi ini. Sebagai sebuah keluarga, tentu “merasa memiliki” rumah global ini. Rumah mesti dibersih sebersih mungkin. Ia harus dijaga senyaman mungkin. Dilindungi sebisa mungkin. Atap rumah yang bocor mesti diperbaiki. Jendelanya mesti diperhatikan agar sirkulasi udara lancar. Punya taman yang mungil tentu jauh lebih enak dipandang. Singkat kata, biar para penghuni merasa “at home” di rumahnya sendiri.
Inilah planet yang kita sebut rumah global. Rumah global itu adalah bumi (globe). Sayangnya, Tuhan beri rumah global ini cuma satu. Karena, ia cuma satu maka setiap para penghuni di dalamnya butuh solidaritas yang kuat untuk merawat, menata dan mempercantiknya menjadi sebuah rumah idaman. Sekali dirusak, susah diganti apalagi dibeliin yang baru. Karena, sampai sekarang, para astronot belum temukan planet lain yang seindah dan senyaman bumi ini.
Sekalipun manusia “dikamarkan dan disekat” menurut (ruang-waktu) negara, agama, suku dan alamatnya di setiap belahan bumi tapi itu tidak mengurangi rasa “sense of belonging” terhadap rumah global ini. Sebagai satu keluarga besar tentu punya hak dan tanggung jawab yang sama. Hak untuk menghuni dan tanggung jawab untuk menjaga keadilan, kedamaian, kebersihan, ketertiban, keamanan dan keindahan rumah global ini sampai akhir hayat dikandung badan.
Baik buruk rumah global ini ada di tangan kita. Akhir-akhir ini, para penghuni rumah global resah dan gelisah. Lantas rumah global ini kian pengap dan panas (global warming). Air bersih semakin susah. Gagal panen menyebabkan harga beras meroket. Longsor dan banjir adalah ancaman serius. Penyakit flu burung, gizi buruk, AIDS susah dihindari. Adakah sesuatu yang tidak beres?
Banyak ilmuwan sudah mendulangkan kajian ilmiah mereka. Kalau-kalau aneka bencana ini adalah ulah manusia itu sendiri. Rasa egois kian runcing. Tiap “kamar” ingin makmur sendiri. Proyek industri berlomba-lomba. Hutan diobrak-abrik tanpa belaskasihan. Kota-kota disemaraki oleh bangunan berkaca dan mencakar ke langit. Sampai lahan untuk tanam bunga di halaman rumah kewalahan. Dan, anak-anak kehilangan tempat bermain dan bersukaria.
Rasanya tidak adil. Ketika rumah global ini diciderai bencana kepanasan (lapisan ozon menipis) para penghuni saling melemparkan kesalahan. Semuanya ingin menang sendiri. KTT iklim PBB di Bali baru-baru ini gagal adalah contoh bagaimana solidaritas penghuni rumah global ini kian redup. Sementara para penghuni di dalamnya terus digilas oleh kegetiran akibat perubahan iklim.
Mungkin tepat jika kita perlu redefinisi dan reinterpretasi keberadaan rumah global ini. Siapa “tuannya”? Apakah ia menjadi gubuk global yang terlupakan? Sebab, atap rumah global ini sudah kebocoran. Jendela-jendelanya sudah tidak dilalui lagi oleh udara sejuk melainkan asap yang memabukan. Badai topan dan petir menakutkan. Longsor dan banjir datang dari empat penjuru mata angin. Apakah ini isyarat, rumah global ini terkubur dalam egoisme sempit penghuninya?
Indonesia adalah salah satu penghuni “kamar” rumah global ini. Di ujung Timur kamar itu ada “sekat” khusus yang diberi nama NTT. Di sanalah orang NTT berada. Egoisme sempit merusak rumah global ini pun menyadap di wilayah kita. Hutan ditebang dari desa ke desa, dari kota ke kota. Sampah dibuang kapan dan di mana saja. Kebakaran hutan dan padang sering terjadi di musim kemarau. Inilah egoisme laten terbesar kita menambah kehancuran rumah global ini.
Tak pelak, “sekat ” yang beralamatkan NTT ini sedang terusik oleh bencana. Ibu-ibu terpaksa gantung priuk akibat gagal panen. Bayi-bayi mengidap penyakit gizi buruk. Anak-anak pergi sekolah dengan perut kosong. Air minum yang bersih susah didapat. Apalagi, air untuk mandi lebih tidak ada lagi. Jangan heran bibit penyakit mudah menyerang tubuh siapa saja.
Banjir dan longsor terjadi setiap tahun. Bahkan tak jarang sebuah kampung ditelan longsor. Pijar terikan matahari membuat kita tak bertahan bekerja, belajar dan bersantai di siang bolong. Malam hari juga, kamar tidur terasa panas sangat menyebalkan, menyebabkan kita susah tidur dengan nyenyak dan mencuri mimpi-mimpi indah di penghujung malam.
Banyak orang bijak, menjelaskan inilah akibat “pergaulan bebas”. Kita bebas menjual hutan perawan. Bebas membiarkan pencuri masuk keluar hutan. Pencuri hutan pun dibebaskan tanpa diadili. Belum puas hutan dijual, kita sendiri bebas memperkosa hutan sendiri. Inilah yang disebut sebagai “incest ekologi”. Sebab hutan yang perawan digunduli sendiri, laut yang perawan diledaki bom, padang belantara yang indah dibakar sendiri dengan buang bebas puntung rokok.
Orang sering menuding globalisasi sebagai biang kerok pergaulan bebas itu. Padahal, semuanya lahir dari kerakusan dan ketamakan diri. Kerakusan dan ketamakan ini menyerang siapa saja. Mulai dari intitusi “kacangan” sampai dengan intitusi “gedehan”, mulai dari “orang kecil” sampai dengan “orang besar”, mulai dari orang “kepalanya kecil” sampai dengan “kepalanya besar”.
Tanpa disadari, sekat yang bernama NTT ini kian tidak nyaman. Ia juga berdampak pada ketidaknyaman bagi para penghuni lainnya di rumah global ini. Lalu, di manakah tanggung jawab kita sebagai penghuni rumah global ini? Rumah global ini diberi gratis oleh Sang Pencipta. Kalau saja Tuhan boleh marah, seperti bagaimana orang NTT lagi marah, maka kita semua ini bisa saja diusir dari planet tunggal ini, seperti kisah ‘the lost paradise’, manusia pertama di bumi.
Apalagi kalau “sang empunya bumi ini” meminta ganti rugi atas segala kerusakan bumi yang pernah kita buat. Siapa yang bisa membayar semuanya? Siapa yang bertanggung jawab? Yang pasti, semua orang siap “mambayar” ongkos ganti rugi kerusakan rumah global ini, dengan “merevolusi” gaya hidup, sekecil dan sesederhana apapun, yang penting lahir dari kesadaran penuh. Mulailah dengan hal kecil-kecil.
Pertama, hidupi budaya hijau dari rumah sendiri. Alangkah indahnya rumah jika dihiasi oleh taman mini dengan ditanami bunga-bungaan. Kita bayangkan jika setiap keluarga di NTT punya taman bunga di halamanya maka betapa semaraknya kampung-kampung dan kota-kota kita. Tentu lebih indah jika jantung kota-kota juga diperhiasi oleh taman-taman dan pepohonan.
Taman rumah bisa berfungsi perekat tanah agar rumah tidak longsor ketika hujan tiba, “filter” debu-debu yang beterbangan masuk ke rumah kita. Selain itu, kita bisa hirup udara sejuk dan segar dan selebihnya kita menjadi kontributor melepaskan CO2 ke rumah global ini.
Kedua, hidupi budaya bersih dan sehat. Prilaku buang sampah, puntung rokok, ludah dan kecing di sembarang tempat perlu diperbaiki . Selokan, sungai, laut dan sudut-sudut kota bukan tempat buang sampah. Ketika sampah menyesaki daerah aliran sungai menyebabkan aliran air terhambat dan meluap ganas. Udara tercemar dengan menyebar penyakit dan bau busuk yang menyengat akibat orang kencing, berak dan ludah di mana-mana. Demikian pun puntung rokok. Kadang kebakaran hutan dan padang terjadi hanya karena terlena membuang sepuntung rokok.
Ketiga, hidupi budaya hemat. Kadang orang mulai berpikir hemat ketika hidup di ambang kesengsaraan. Selagi kaya, tidak ada kata hemat dalam kamus hidup. Mungkin attitude ini perlu diubah. Contoh saja, orang ber-uang, tidak boleh sefoya-foyanya membiarkan air terus mengalir di keran atau listrik menyala siang dan malam tanpa fungsi, hanya karena rekeningnya bisa dilunasi. Bukan soal bisa dilunasi atau tidak tapi hemat energi yang kita kurasi dari perut bumi ini.
Keempat, hidupi budaya ramah terhadap alam perlu dikembangkan. Perlakuan salah terhadap binatang, pohon, tanah, air, laut dan udara kadang tidak dilihat sebagai kekerasan melainkan hal biasa bahkan sudah seharusnya manusia menjadi “tuan” atas alamnya. Tapi, tidakah kita jera ketika alam juga tahu bermain kasar lewat bahasa brutalnya tersendiri. Tanpa mengecil peran manusia sebagai “homo faber” , maka tetap diperlukan membangun relasai santun dengan alam.
Inilah awasan bersahaja untuk pengontrak rumah sebuah “sekat” di Ujung Timur “kamar” rumah global ini yang bernama NTT, dalam rangka memperingati Hari Bumi Sedunia (Earth Day) 22 April tahun ini. Hari Bumi mengingatkan kita, “setiap orang punya hak yang sama untuk mendiami “rumah global” ini tapi pada saat yang sama dituntut tanggung jawab setimpal untuk menata dan memperbaikinya lebih baik” (Teks Proklamasi Earth Day 1970).

Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
(Dimuat di NTT Online, 2008)

0 comments: