Hati-hati sebelum ‘berbuih’
Fidel Hardjo *
"KENAPA hanya pada katabodoh"! Begitulah Yustinus Kapitan (Pos Kupang, 2/6/2007) merangsek tulisan saya sebelumnya. Pertanyaan untuk Kapitan, apa maunya Anda? Anda, mungkin ingin menagih solusi dari tulisan saya. Kita memang pernah belajar filsafat bersama di bawa barak, memory of Barak (baca: tempat perkuliahan STFK Ledalero pasca gempa 92). Sebagaimana apa yang kita pelajari, filsafat bukan epistemik solusif instanik. Filsafat adalah ruang bertanya. Sejauh ingat saya, dosen filsafat kita, DR. P. Kondrad Kebung, SVD pernah berkata "ketika Anda bertanya sebenarnya Anda sedang berfilsafat". Artinya, dengan terbukanya ruang filsafat ini, ada harapan terbersit, agar pemerintah, rakyat, akademisi, jurnalis, relawan di mana saja berada membuka mata lebar-lebar akan konstruksi ruang filsafat di balik pro-kontra penambangan Lembata. Lalu, ambilah keputusan!
Memang sejak awal tulisannya, saya sudah bisa duga. Ke mana Kapitan hendak "berbuih". Kalau bukan mendoma perspektif publik, setidaknya "memuluskan" ide Charles Beraf, yang menurut tukang ojek Wairpelit, Beraf itu mungkin tim suksesnya....? (Hendrik Nong, Pos Kupang, 27/6/2007). Harap, besok-besok tak ada lagi tukang ojek ataupun penjual sayur lain yang berkata, jangan-jangan Kapitan juga adalah tim suksenya si Beraf...! Sedih bukan main! Jangan biarkan kesejatian intelektual Anda dinodai oleh sinisme yang datang dari mulut orang-orang sekarat seperti itu.
Sebagaimana Anda berdalil bahwa memahami tulisan Beraf takcukup menangkap judulnya, apalagi kata perkata atau perkalimat. Itu nasihat cerdas, layaknya profesi seorang filsuf kinian. Sayangnya, analisis Anda terlalu dini. "Felix qui potuit rerum cognoscere causas. "Berbahagialah, mereka yang dapat mengerti penyebab sesuatu" (Vergilius, Georgicon II: 490). Sebab, tulisan Anda menunai kebingungan untuk saya dan boleh jadi untuk sidang pembaca yang lain.
Lalu, hati kecil saya bergumam, jangan-jangan Kapitan yang muncul di Pos Kupang ini bukan Kapitan yang dulu merupakan kawan kelas saya. Setahu saya, Kapitan adalah teman saya yang cerdas dan idenya biasa brilian. Entahlah, nanti saya terjebak dengan argumentum ad hominem. Lupakan itu! Yang penting, formasi epistemilogik dalam tulisan Saudara patut saya cela-tanya. Berpijak dari mana dan hendak ke mana, sampai-sampai Anda mengatakan bahwa tulisan saya "cuma" mengobrak-abrik judul saja? Judul-judulan!
Tulisan saya bukan hanya menyoalkan judul. Anak TKK juga bisa bicara demikian. Katakan, seorang anak baca puisi "Tomat" di kelas. Sebelumnya, guru menuntunnya bagaimana mengimprovisasikannya. Bahwa Tomat itu bentuknya bulat dan seterusnya. Tak ada yang lebih dari itu. Kemudian, setibanya di rumah, ia melihat sebuah "buah" lain, yang bentuknya juga bulat. Lalu, ia mengatakan "Bu ini tomat yah..? Padahal itu lombok! Hanya, karena bentuknya juga bulat. Begitupun, tulisan saya, mungkin resonansi judulnya bertendensi judul menyerang judul (argumentum ad titulum). Berangkat dari view ini, Anda dengan enteng mengatakan, saya hanya berkutat pada judul. Apa bedanya, kita dengan anak TKK kalau Anda berpikir seperti itu? Kalau Anda masih punya waktu, bacalah sekali lagi tulisan saya.
Tulisan saya sebenarnya mengecam Beraf atas teriakan brutalnya atas proses demokratisasi di Lembata. Walaupun ada cela lain, yang juga tidak beres. Saya hanya mengangkat ke permukaan yaitu relevansi logis-implikatif teriakan brutal dengan pertumbuhan demokrasi. Sehingga, nasihat cerdas lewat tulisan Anda akhirnya salah alamat di sini atau dengan logat kejawaan Anda yang kental "tak nyambung" . Mungkin terlalu cerdas sampai roh pencerdasannya mengabur kewibawaan teleologi kualitas pesan yang hendak mau disampaikan.
Saya kira tulisan Beraf tak perlu mendatangkan seorang analisis teks sekaliber Cliffort Geertz sekalipun, untuk menjelaskan esensi tekstual tulisannya. Buktinya, tukang ojek saja sudah berkomentar. Karena apa yang hendak dibahasakan Beraf sudah jelas. Bukan pula bahasa hantu. Isinya pun terang-terangan yaitu imbauan unilateralistik agar rakyat jangan bertindak bodoh atas penolakan penambangan di Lembata. Jika saja Beraf mengatakan rakyat dan pemerintah jangan bertindak bodoh mungkin bisa diterima oleh publik. Di sini sebenarnya, awal kepincangan berpikir.
Persoalannya adalah masalah dibedah secara monokausalistik. Rakyat dilihat dengan gaya "pendekar mata satu" bahwa rakyat memang sebuah kerumunan psikologis yang bertindak "membeo". Seperti teori psychological crowd-nya Le Bon (1895). Le Bon mengatakan, individu dalam kerumunan mengalami hipnosis karena tenggelam dalam psikologi kolektif yang menular secara psikologis, cenderung mudah dipengaruhi, mudah percaya, dan loyal pada kelompok tertentu. Atau dengan kata lain, seperti kerumunan kuda liar yang terperanjat dan berlari tanpa arah karena seekor kuda yang lain melepaskan kentut. Benarkah protes rakyat terkelepot sesedih itu? Sayapikir, rakyat tidak terlalu bodoh, sebodoh kuda liar yang terperanjat hanya karena kentut kawannya lalu lari tunggang langgang. Kita sebagai akademisi perlu ekstra hati-hati berbuih kata-kata. Sebelum diadili oleh orang yang sering dicap paling bodoh sekalipun.
Alur pikiran kita tetap jelas. Kita tidak perlu mereka-reka apa maunya si Beraf di balik teriakannya, "jangan bertindak bodoh" karena obyek yang diteriakinya jelas. Tapi tiba-tiba, Kapitan muncul dengan "gertak 45", coba mengajak publik untuk mereka-reka apa maunya Beraf. Dengan meyakini publik dengan formulasi logika dan filsafat yang pernah dipelajarinya bahwa pikiran Beraf memang benar. Bahwa perlu dinasihati, dikawali, dijinaki kegabahan rakyat Leragere. Seperti apa porsi gegabahnya, juga tidak jelas. Karena, refleksi Anda kelihatannya hanya untuk membela tulisan Beraf secara artifisialistik. Pernahkah Anda memikirkan bahwa yang paling gegabah sebenarnya adalah pemerintah? Pikirkan itu baik-baik. Tidak ada penyebab tanpa disebabkan.
Argumen Anda pun sama, atau meminjan kata Anda sendiri "terjangkit" dengan logika Beraf. Walaupun di akhir tulisan Anda, ada solusi. Tapi hemat saya, munculnya solusi-solusi itu cuma pelengkap saja. Layaknya, orang lagi bongkar kema, akan belum lengkap kalau tanpa ada minum moke. Tapi itu tidak berarti tulisan Anda tidak punya pesan signifikan. Sekali lagi ruang bertanya semakin jernih. Itulah tugas kita. Artinya, kita sebagai figur intelektual perlu membuka ruang diskusi seluas-luasnya agar ruang publik lebih dipenuhi dengan keputusan-keputusan yang arif, terutama menyangkut hajat hidup orang banyak.
Semoga dengan membuka wacana publik ini, pemerintahjangan-jangan malu-malu untuk bersuara dan mengatakan bahwa industri ekstraktif Lembata ini akan tidak diteruskan. Bukan kali ini, mungkin lain kali. Begitulah bahasa diplomatisnya. Dan kepada PT Meruhk, juga jangan enggan-enggan untuk angkat kaki dari Lembata. Proyek Anda bukan tidak berhasil kali ini, tapi cuma "tertunda". Orang Lembata akan menulis nama Anda dengan tinta emas kalau Anda dengan berani meninggalkan lokasi penambangan Lembata secara terhormat. Bahkan, orang yang sudah di liang kubur sana pun akan mendoakan dan merestui kepergian Anda.
Saya berterima kasih kepada Pos Kupang atas peran aktifnya memediasi pikiran publik atas masalah penambangan ini dalam rubrik opininya. Kalau saja, Pos Kupang tidak mengangkat persoalan penambangan Lembata untuk dicecar-cecar oleh publik, maka bukan tidak mungkin proyek industri penambangan ini akan berjalan mulus di bawah jurus-jurus silat maut pemegang kekuasaan. Saya tidak temukan keunikan yang seistimewa ini, di koran lokal lain di negeri ini. Proficiat Pos Kupang!
Semoga solidaritatif-kolektif ini tetap membahana ke depan. Ini baru langkah pertama dari ribuan langkah yang sedang menanti di depan mata kita. Peran rekan jurnalis, akademisi, media, relawan, tukang ojek sekalipun akan menjadi kekuatan baru dalam menghadapi ruang publik kita yang sering rapuh dan tersumbat.
* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
(Dimuat di Pos Kupang, 9/7/2007)
0 comments:
Post a Comment