Wednesday, May 7, 2008

GERAKAN “NTT CINTA BUDAYA ANTRE”



Fidel Hardjo



Sepintas kita melirik kota-kota se-NTT. Entah kota propinsi, kabupaten maupun kecamatan tidak terluput oleh suasana kesemrawutan. Bukan hanya arsitek kota yang semrawut tapi manusia pun terjangkit oleh penyakit kesemrawutan. Pemandangan kesemrawutan tercarut marut di mana mana.

Orang main serobot-serobotan adalah wajah telak penyakit kesemrawutan. Penyakit ini terlihat jelas, katakan saja realitas kesemrawutan transportasi (laut, udara dan darat). Orang serobotan beli tiket, serobotan naik ferry, di bandara yang banyak orang asing juga demikian. Di darat lebih kacau lagi.

Bus, angkot, dan ojek juga tidak kalah sengit merebut penumpang. Di mana dan kapan saja mereka bisa berhenti seenaknya. Pejalan kaki juga merasa diri king of road berjalan seenaknya. Kalau disenggol apalagi kalau ditabrak oleh kendaraan, biar jelas-jelas terbukti salah tapi selalu saja pemilik kendaraan dituding bersalah.

Betapa tidak! Suasana kesemrawutan ini tergores kesan kuat bahwa kota-kota di NTT seperti “kota tak bertuan”. Terlihat tapi terabaikan. Tidak pelak frekwensi kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi. Sopan santun publik kian culas, dan polantas juga kebingungan karena kemacetan lalu lintas tidak pernah berubah. Tiap hari hadapi problem macet-macet!
Penyakit kesemrawutan ini meramba luas ke tempat atau kantor pelayan publik lainnya. Sudah jelas-jelas ditulis Harap Antre! Tapi, masih saja orang memilih serobot-serobotan. Tak disangka, kalau benih korupsi, kolusi dan nepotisme bertumbuh segar di sana. Mengapa? Karena, orang ingin jalan pintas.
Tak sulit ditebak. Orang “ber-uang”, “punya orda” dan “ber-kuasa” adalah orang hanya bisa “berlaga unjuk gigi” di sana. Katanya, ini birokrasi pak! Muak dengan birocrazy ini. Semuanya dikemas dengan alasan birokrasi, padahal ujung-ujungnya adalah uang.
Entah bagaimana dengan nasib orang lemah dan miskin? Mereka semakin terpinggir. Jauh dari pelayanan yang selayaknya. Orang asing? Mereka juga kebablasan. Kita ajari mereka main sogok. Tontoni prilaku serobot-serobotan.
Maaf atas rasa kuriositas ini. Tapi, sebetulnya penyakit kesemrawutan ini bukan hanya mendera NTT saja. Kota metropolitan seglamor Jakarta saja masih cengeng dengan penyakit kesemrawutan ini. Apakah kita mesti selalu mendikte Jakarta?
NTT bisa berbuat lebih. Munculkan gebrakan baru yaitu gerakan cinta budaya antre. Bila perlu, ini menjadi produk unggulan kebijakan daerah, yang kemudian bisa menjadi panutan bagi propinsi lain bahkan Jakarta sekalipun.


Apa itu antre?

Kata antre berasal dari kata Latin yaitu cauda (genitive caudae) yang artinya ekor (tail). Dalam terminologi musik dikenal term coda (Italia). Artinya “ekor”, ujung akhir dari komposisi lagu (a tail end of composition). Benar kata orang, meng-antre berarti seni “mengekor”. Yang pertama menjadi “kepala” dan yang lain adalah “ekor”.

Kata antre dalam bahasa Inggris “queue” (please on queue). Kata queue diadopsi langsung dari kata Perancis yaitu queue yang artinya ekor (tail). Sejak tahun 1748, kata queue secara resmi dimasukan sebagai kosa-kata resmi Inggris, yang artinya orang, kendaraan, atau obyek apa saja yang sedang dalam barisan menunggu.

Sementara, antre dalam bahasa Indonesia diturunkan dari kata Belanda yaitu aantreden berarti berantre. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), antre berarti orang berdiri berbaris menanti giliran.

Filosofi dasar budaya antre adalah “first in first out” (datang pertama keluar pertama) Impaknya adalah first come first service (datang pertama dilayani pertama). Uniknya, budaya antre lahir dari kesadaran individual (self-awareness).

Tanpa sanksi jika dilanggar. Tanpa diatur, orang sudah semestinya teratur. Di sanalah keindahan natural yang meniscahayakan bahwa memang manusia adalah binatang paling cerdas di bawa kolong langit ini.
Paradoks filosofi di atas adalah “last in first out” (datang terakhir keluar pertama). Inilah yang dinamakan budaya terabas (baca: serobotan). Di mana, orang (kerumunan) ingin “first service tanpa peduli last come atau first come. Dari sinilah asal-muasal kesemrawutan mengalir ke segala lini kehidupan.
Implikasinya, kita mudah stres, marah, jengkel, maki dan irihati bahkan ujung-ujungya keributan, kecelakaan dan kekerasan. Lebih-lebih setelah kita tak sabar mununggu dan tiba-tiba ada pihak lain (queue jumpers) yang datang kemudian dilayani dan keluar lebih awal.
Siapapun tak ingin tertimpah oleh situasi buruk seperti ini. Kita butuh solusi. Selain kita menyokong nyali kebersamaan kita untuk menghidupi budaya antre. Ini mengandaikan ada perspektif inspirasional yang sama, untuk menggali nilai-nilai pedagogis publik di balik budaya antre itu sendiri.

Nilai Pedagogis
Pertama, budaya antre membantu kita untuk hidup lebih produktif. Hidup produktif itu terbaca jelas dalam aktivitas, penggunaan fasilitas dan pelayanan publik yang efektif. Orang yang melayani bisa kita bekerja secara efektif. Kita yang dilayani pun mendapatkan pelayanan (first in first out) proposional.

Jadi, jika setiap orang menganuti cara dan mekanisme antre yang benar maka sebetulnya kita hidup lebih produktif yaitu bersikap adil, respek perjuangan sekecil apapun dan hemat waktu, tenaga dan pikiran.

Kedua, menghidupi budaya antre adalah salah satu disiplin sosial memberantas praktik korupsi, nepotisme dan kolusi. Budaya antre menekankan proses. Tentunya proses yang fair, adil dan jujur. Andaikan kita menghargai proses ini maka sebenarnya KKN bukanlah perkara besar untuk diberantas.

Ingat, tidak hanya uang yang bisa dikorupsi, dikolusi dan dinepotis. Waktu, tenaga, pikiran orang lain pun bisa digilas oleh napsu korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah KKN yang paling sadis sebenarnya. Karena ia berparas tengkulak penghisap keringat orang lain secara sadar dan terang-terangan.

Ketiga, dengan membiasakan budaya antre berarti kita sedang “mendandan” ruang publik kita lebih indah, damai, aman, dan beradab. Di mana orang bisa belajar bersabar, mengikuti proses, bersikap adil, sopan-santun, tertib dan disiplin.

Kecantikan kota tidak hanya tergantung tata estetik ruang, bangunan dan taman yang indah. Manusia-manusia pun perlu disiplin dan tertib. Dengan demikian, suasana kota lebih anggun dan beradab.

Butuh Sosialisasi

Kita butuh elan vital bersama untuk mensosialisasi budaya antre. Kita boleh mengemas sticker indah katakan gerakan “NTT Cinta Budaya Antre”. Bagaimana memulainya?
Pertama, budaya antre mesti dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga menjadi basis pendidikan antre. Anak dididik untuk menghargai waktu, perjuangan dan proses. Berbaris mendapat makanan atau apa saja yang melibat banyak orang. Tanpa pandang bulu, kecil besar dan tua muda. Harap antre!

Budaya ini memang bertolak belakang dengan budaya patriakalistik kita. Di mana diatur baru teratur. Orang berjenggot dan berpangkat selalu didahului. Dalam kadar tertentu kita tetap melestarikan budaya respek ini. Di sisi lain kita juga mesti terbuka dengan peradaban modern yang bisa menambah keanggunan budaya kita.

Mungkin orang tidak sadari bahwa kebiasaan baik dalam keluarga ini akan terbawa dalam konteks relasi yang lebih luas. Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis, yang tidak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994 : 16-17).

Kedua, pendidikan antre di sekolah. Lingkungan sekolah (TKK-PT) menjadi locus yang cocok untuk mengaktualisasi budaya antre dengan kadar disiplin tinggi. Tentunya dimotori oleh pemimpin sekolah dan staf guru. Semua tempat pelayanan publik di sekolah dipajang sticker Harap Antre.

Setiap orang yang melanggarnya perlu diberi peringatan. Orang yang membandel antre tidak perlu segan untuk diminta mengikuti antre. Kebiasaan ini awalnya sulit tapi lama-kelamaan ia akan bertumbuh sebagai kesadaran individual. Diharapakan agar dunia pendidikan menjadi perintis gerakan cinta budaya antre ini.

Ketiga, pendidikan antre di tempat publik. Kita perlu mempromosikan budaya antre kepada publik lewat seminar, pembinaan umum atau lewat pemasangan iklan atau sticker cinta budaya antre di TV, radio dan media massa.

Setelah disosialisasikan kepada publik, pemerintah yang dibantu oleh polisi atau sukarelawan (pelajar/mahasiswa/LSM) turut mengajar langsung mekanisme antre kepada masyarakat di tempat-tempat publik. Kita mengharapkan kontribusi rekan-rekan mahasiswa untuk membantu mengaktualisir gerakan cinta budaya antre ini.

Buktikan bahwa mahasiswa NTT yang sering dinobat sebagai “Intelektual Timur” juga mampu membuat gebrakan baru terhadap masyarakat. Lebih kreatif menyalurkan prestasi dan bakat kepada masyarakat. Misalkan, ciptakan kelompok cinta alam, cinta budaya sehat, kelompok menulis, dan cinta budaya antre etcetera. Apalagi hampir setiap kabupaten di NTT sekarang minimal punya perguruan tinggi.

Praktik pembelajaran antre ini bisa dimulai di kantor pelayanan publik, toko perbelanjaan, penjualan tiket, di pelabuhan laut, bandara serta di terminal (bus, angkot, ojek) perlu menghidupi budaya antre. Tanpa kecuali.

Jika kita punya tekad bersama untuk menggalakan cinta budaya antre di NTT maka hasilnya soal perkara waktu saja. Orang bijak mengatakan, hanya orang yang tidak pernah mencoba adalah orang selalu gagal! Semut saja koq bisa antre!


Penulis, staf Televisi TBN Asia tinggal di Manila

0 comments: