Wednesday, May 7, 2008

TARUHAN MAHAL KETIKA "PENA BERBICARA"



(Kritikan Keras Penganiayaan Wartawan di Mabar)

Fidel Hardjo

Harian Nasional Kompas (18/2/2008) menurunkan berita lokal yang sama sekali “mengejutkan”. Wartawan Pos Kupang, Yacobus Lewanmeru (Obby) dianiayai oleh empat orang preman, sampai ia digotong ke rumah sakit dalam keadaan semaput. Penganiayaan Obby hanya menambah jumlah deretan wartawan yang nasibnya kian malang melingtang.
Penganiayaan wartawan bukan kasus pertama kali terjadi di NTT. Tapi, baru kali ini, berita penganiayaan wartawan di Flores diekspos ke tingkat nasional oleh Kompas. Harian Kompas melansir bahwa pelaku kekerasan itu adalah “preman”. Saya tidak habis berpikir kota kecil seperti Labuan Bajo, apa benar-benar ada preman sebajingan ini? Atau jangan-jangan ada “aktor intelektual” yang mengotak-atik preman ini?

Maaf atas kuriositas ini, namanya juga curiga. Jadi, boleh saja saya keliru. Tapi, setelah saya membaca keseluruhan artikel ini, di alinea lain ia menulis motif penganiayaan itu menurut “sejumlah pihak”, terkait pemberitaan Obby soal proyek singkong senilai Rp 2,8 miliar yang diduga fiktif”.

Akhirnya, saya sadar ternyata banyak orang di belakang saya, yang berpikir persis seperti apa yang saya pikirkan. Setidaknya, membenarkan intrik pihak ketiga, yang boleh jadi bermain di balik kasus ini. Maka, porsi kecurigaan saya semakin mengalir bebas dan luwes.

Sejak awal Harian Pos Kupang memang getol menurunkan berita proyek ubi kayu di Mabar yang sarat bermasalah itu. Kita angkat jempol untuk keberanian Pos Kupang untuk mencecar-cecar persoalan ini “dikunyah” publik. Saya yakin di balik pemberitaan PK ini, tidak ada motivasi subversif apalagi demi interese pribadi. Kalau bukan untuk kepentingan banyak orang. Jika demikian, mengapa wartawan digebuk preman?

Awak pers hanya menjalankan amanat publik yaitu memberi informasi yang seharusnya diketahui publik, lalu dijadikan formasi untuk melakukan solusi-transformatif publik atas proyek bermasalah ini. Sebagai putra daerah Mabar dan pembaca setia Pos Kupang saya salut dan berterimakasih. Sebab, harian ini telah mengontribusi informasi yang solid kepada khalayak tentang proyek ubi kayu yang tidak jelas nasibnya. Dengan harapan, semua orang turut membantu mengeksekusi persoalan ini.

Tak disangka, jika hasil guratan tinta pena si Obby, berujung “digebuk” oleh preman. Inikah taruhan mahal ketika pena berbicara? Obby menderita traumatik psikis-fisik. Publik juga merasa dirugikan. Rugi karena publik kehilangan informasi aktual dari hasil torehan segar pena si Obby. Karena publik tidak mendapat informasi yang selayaknya maka secara inheren rakyat dibodohi. Ketika rakyat dibodohi maka rakyat tak ubahnya sebuah kerumunan yang dungu.

Ketika rakyat menjadi dungu maka kita tidak tahu lagi, bagaimana nasib kerumunan warga yang diimipikan dalam Negara Ideal Plato. Pasti hanya tunggu waktu untuk hancur lebur, karena baik pemimpin maupun yang dipimpin sama-sama terpasung dalam kotak dungu ( bukan pecinta filsafat)

Sebagai pembaca yang kritis, tentu merasa aneh, naif. Rasa aneh kita tidak terlepas dari rasa kecurigaan. Curiga, jangan-jangan preman ini dipakai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, hanya untuk memberi “efek jera” kepada wartawan, membungkam ruang publik dan tentunya dengan optimisme kerdil perkara akan tersumbat. Berlaku prinsip, bunuh seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera di hutan. Apakah berhenti di sini?

Rakyat sekarang semakin otokritik menganalisis persoalan sosial mereka. Mereka mencurigai sana-sini. Tidak semua kecurigaan adalah negatif. Filsuf Descartes dalam teori dubium methodicum-nya menganjurkan betapa pentingnya metode dubium (kecurigaan) membedah kasus sekecil apapun untuk melacak titik kebenaran. Lantas bagaimana kecurigaan kita terpana?

Hari-hari belakangan ini kasus dugaan koruptif proyek ubi kayu Mabar bagaikan “bola liar”. Tak sedikit orang dibikin panik, stress. Bola liar itu menggelinding dari kepala ke kepala, tangan ke tangan dan mulut ke mulut. Ada yang merasa diri gawang pertahanannya nyaris jebol. Hal ini terlihat aksi tuding menuding antara pemimpin (eksekutif versus legislatif) atas proyek ubi kayu ini. Bak gayung disambut, PK mengangkat dan memuat kasus ini untuk dijamah publik (good news is bad news).

Persis dalam keadaan “mendidih” seperti ini, tiba-tiba terbetik berita wartawan PK digebuk oleh preman. Adalah wajar jika publik angkat bicara kenapa wartawan digebuk? Adakah korelasi antara wartawan digebuk dengan kasus dugaan korupsi proyek ubi kayu di Mabar? Walaupun menurut hasil penyelidikan sementara polisi, penganiayaan ini cuma “kesalahpahaman” dan “dendam pribadi”.

Tentu, publik tidak mudah percaya, apalagi mengamini begitu saja bahwa penganiayaan itu hanya soal kesalahpahaman dan dendam pribadi. Entah apa saja alasannya, tindakan kekerasan ini perlu dikutuki. Apalagi tindakan kekerasan ini berpautan dengan profesi. Obby digebuk dengan terlekat profesi wartawan. Jangankan orang pintar bisa beranalisis, penjual sayur di sudut pasar baru Labuan Bajo pun, punya second thought tentang posibilitas “pihak ketiga” yang patut dicurigai di balik aksi penggebukan wartawan ini.

Rasionalitas berpikir seperti ini bukan ciri kritis yang baru mengidap masyarakat modern sekarang, sudah jauh-jauh sebelumnya, berlaku teori Sinteses Hegel bahwa untuk mengetahui persoalan (sintesis), pikiran mesti “dibelah dua” antara yang positif dan negatif diacak, dipisahkan dan dipertautkan maka dengan sendirinya persoalan terbongkar sendiri.

Lantas, siapa yang patut dicurigai? Kita tidak perlu menyebut siapa mereka. Ini tugas polisi. Toh, tanpa disebut pun semua orang tahu. Kultur presepsi masyarakat seperti ini setidaknya segerak lurus dengan kata bijak Socrates “apa yang kita tahu dengan pasti adalah kita tidak tahu”.

Dengan demikian, pengetahuan kita semakin luas, tajam, akurat dan teruji kebenarannya.Kalau Plato masih hidup sekarang, kita boleh berdebat, teori Mimesis-nya, yang sering menuding rakyat suka meniru tindakan biadab menjadi awal kehancuran republik bisa digugat habis-habisan.

Teori Plato ini akan diuji kesahihannya di era sekarang ketika yang terjadi terjungkir balik. Justru para “filsuf” yang selalu meniru dan mewariskan tindakan biadab kepada rakyat. Sebenarnya, para pemimpin yang selalu menjadikan rakyat sebagai “kelinci percobaan” perlu diberi “efek jera” agar republik ini bisa langgeng menuju pusaran impian negara ideal ala Plato.

Di era gegap gempita demokrasi sekarang ini, kebebasan dibentang selebar-lebarnya. Selebar itu pula kesempatan berbicara-dibicarakan atau menulis-ditulis apa saja, sejauh apa yang dibicarakan dan dituliskan dapat dipertanggungjawabkan. Ada cara etis mengemukan pendapat. Demikian pun, hak menggugat selalu menggunakan cara beradab. Bukan gunakan otot atau urat!
Kekerasan fisik hanya pratanda kotak kita tumpul. Ketika otak tumpul maka yang bisa ditemukan adalah tindakan dungu, ruang politik juga dungu dan hasilnya juga dungu. Dungu yang benar-benar dungu, bukan sekadar “dungu”. Padahal, sejatinya politik oleh Michel Foucault, (1979) dilihat sebagai cara ampuh untuk saling memeriksa dan mengkritisi sehingga tak ada dominasi yang akan melahirkan tindakan kekerasan.

Terlepas benar tidaknya, penganiayaan wartawan PK di Labuan Bajo, terkait dengan kasus dugaan koruptif proyek ubi kayu di Mabar maka kita serahkan kepada polisi menyelidiki kasus ini. Ini ujian terberat profesionalisme polisi Mabar sekarang dan menjadi titik penentu kepercayaan masyarakat ke depan. Kita bukan hanya mendukung polisi secara moral untuk menyelidiki kasus penganiayaan ini sampai tuntas tapi jauh lebih penting tugas utama polisi adalah mengusut tuntas dugaan koruptif proyek ubi kayu di Mabar ini.

Tidak berlebihan jika kehadiran media sekarang persis sebagai pemimpin alternatif di tengah masyarakat.Pemimpin yang mengakomodasi aspirasi rakyat.Meneguh, menghibur, mengarahkan dan menuntun masyarakat dengan sejumlah informasi terkini. Sekalipun, mereka tidak digaji oleh rakyat. Ide liar yang tertumpah lewat tinta pena mereka hanya salah satu bentuk ekspresi pengabdian atas nama cinta. Berjuang tanpa pamrih untuk kepentingan banyak orang.

Dedikasi wartawan seperti ini perlu dicontohi dan bila perlu bersemi di pojok hati para pemimpin dan wakil rakyat yang sudah terpilih maupun yang akan terpilih. Bukan sebaliknya, mencekik, menjerat membunuh kaki, tangan, hati dan kepala wartawan. Anda digaji oleh rakyat, punya mobil dinas, punya body guard, uang saku, dan akomodasi yang berkecukupan. Di manakah perjuangan Anda untuk rakyat? Ingat, rakyat yang miskin, bodoh, dan lapar bahkan yang sudah mati di liang kubur sana masih menagih perjuangan Anda.

Penulis, Staf Televisi TBN Asia, di Manila

(Dimuat di NTT online 2008)

0 comments: