Wednesday, May 7, 2008

“TNI-KU SAYANG TNI-KU MALANG”


Fidel Hardjo


Diskursivitas penolakan Korem di Flores kembali senyap. Tapi, substansi persoalanya akan tunggu waktunya ledak kembali. Mungkin perlu dihidupi terus wacana ini, biar semua orang bisa meninjau dari pelbagai multiperspektif, yang bisa menuntun perbedaan pendapat menuju bonum commune.

Bisa dianalisis wacananya. Gema penolakan lebih nyaring gaungnya daripada menerima seadanya. Argumentasi penolakan pun menarik. Flores dideskripsikan sebagai daerah yang kecil, aman, damai, rukun, toleransi, belum propinsi dan masih banyak hal positip secara inheren melekat padanya. Ditambah lagi, justifikasi traumatik pelanggaran HAM yang pernah merengkuh tubuh TNI. Maka, semakin bulatlah logika penolakan Korem itu sendiri.

Sementara image TNI “dicurigai” secara ekstrem. Seakan-akan kehadiran Korem akan menegasi semua nilai-nilai adiluhung di atas, yang sudah membumi di pulau Nusa Bunga ini. Anehnya, kita begitu melek melihat hal positip dari pembentukan Korem. Tapi, hal negatip justru terlihat secara jelas dan sempurna. Menarik untuk dipertanyakan lebih lanjut. Sungguh beningkah pikiran dan hati kita?

Apakah tidak ada hal yang positip lagi dari pembentukan Korem itu? Pertanyaan ini setidaknya membangun “penglihatan yang utuh” diskursif kita. Terutama, menangkap nilai optimisme di balik pembentukan Korem di Flores. Amat sayang, jika kita menolak Korem tanpa mengajukan sebuah kritik ontologis korektif positip yang proposional. Arus pesimisme jauh lebih menyengat. Sementara optimisme ditelikung ke titik zero.

Memang tak dapat disangkal, dalam sejarah kiprah TNI tidak luput dari tindakan pelanggaran HAM. Terutama berkaitan dengan aksi separatisme seperti kasus Timor-Timur, Ambon, Aceh, Papua dan lain-lain. Kasus-kasus ini telah meresahkan masyarakat dan mempertajam traumatik dan fobia TNI. TNI hendaknya mengakui realitas ini dengan lapang dada. Sambil mengoreksi diri secara totalitas dan selalu setia meniti rekonsiliasi dengan rakyat. Itulah sebabnya, TNI sekarang sedang kewalahan bagaimana mengembalikan jati dirinya kepada publik.

Maka, amat tidak terpuji, jika niat TNI mengakrabi masyarakat Flores dipreteli sebagai upaya “menjadikan” Flores sebagai Ambon dan Aceh II atau apa saja namanya? Itu juga pesimistik berlebihan. Tidak seburuk imaginatif itu, image TNI di usianya ke 62, tahun ini. Kiprah TNI tempo doeloe atau kemarin-kemarin tentu tidak sama dengan TNI sekarang. Eksistensi TNI sekarang tidak tepat lagi kalau direferensi oleh cara dan pandangan lama. Persoalannya, kita masih berkutat pada upaya memotret tantangan baru dengan pesona solusi lama. Implikasinya, image TNI dijepret ulang di atas potret yang kusam itu. Padahal, kiprah TNI sekarang jauh lebih mebanggakan.

Bukankah sekian sering Flores ataupun daerah lain tertimpa bencana dan TNI mengerahkan personelnya untuk membantu pemulihan atau pertolongan? Kerusuhan lokal di beberapa daerah, perang tanding, sengketa batas wilayah membuat kita sekian sering menitip harapan kepada TNI. Belum lagi, aksi separatisme yang sekian sering mengguncang NKRI malah kita merindukan kehadiran TNI. Karena kita tidak tega Indonesia ini terbelah. Kita terlanjur menghidupi petuah nenek moyang kita: makan atau tidak makan yang penting berkumpul mesrah di bawah payung NKRI.

Untuk memperjuangkan roh kebersamaan itu, TNI tak pelak rela korban jiwa dan raganya. Sekalipun resikonya paling berat yaitu memilih kubur atau penjara. Jika ditembak mati tentunya akan digotong ke kuburan. Tidak mati juga siap diseret ke penjara. Serba salah di mata publik. Tidak heran lahirlah lamentasi menyayat: TNI-ku sayang TNI-ku malang! Begitu cepatkah semua hal positip dan dedikasi TNI ini terkubur dalam pesimisme kita?

Menolak dan terus menolak Korem tentu bukan pilihan tepat. Lebih baik kita mengsinergi kehadiran Korem untuk korporatif pembangunan akseleratif masyarakat Flores pada umumnya. Saya lebih optimis bahwa TNI bisa berbuat banyak bersama rakyat untuk memerangi kemiskinan, korupsi, dan buta huruf dan bencana. Sebaliknya, masyarakat Flores bisa membantu (kritik positip) TNI untuk berkiprah lebih baik dan lebih membanggakan. Tergantung, apa masih ada ruang saling percaya di antara kita.

Jangan hanya karena noda setitik merusak susu sebelangga. Jangan hanya karena kasus Ambon, Aceh, Papua lalu kita pukul rata (generalisasi) dengan apa yang mungkin bakal terjadi di Flores. Kecurigaan, firasat, atau isu negatip seperti ini perlu dikelolah secara baik. Lebih baik kita membangun optimisme publik yang dapat memberi benefitas sosial seluas-luasnya.

Pertama, masyarakat hendaknya perlu mendistingsikan substratum esensial penolakan antara menolak Korem atau Militerismenya. Kalau boleh kita sepakat. Kita sepakat menolak pendekatan militerismenya. Mengapa? Sebab, jalan demokratis adalah jalan yag mesti kita tapaki bersama. Selain itu, terbuka akan sebuah korektif terhadap karakteristik TNI ke depan. Yang pada gilirannya, memberi nilai mutualprofit. Jadi, bukan menolak Koremnya (pribadi atau institusi). Bagaimanapun TNI adalah Tentara kebanggaan Rakyat dan Negara yang senantiasa merindukan perbaikan dari masyarakat menuju proses kematangan.

Kedua, penempatan Korem di Flores bukan berarti pendirian “kemah perang”. Kita mesti baca niat baik TNI sebagai upaya “friendly approach” (pendekatan bersahaja) untuk lebih mengakrabi masyarakat. Bagaimana TNI bisa mengakrabi rakyat dan rakyat bisa “bermesraan” dengan TNI jika kita sendiri tidak memberi kesempatan kepada TNI membumi bersama masyarakat. Sampai kapan kita menolak? Sepanjang itu juga, kita hidup dalam kecurigaan dan pesimistik terhadap TNI.

Inilah salah satu kegagalan rakyat. Rakyat tidak bisa membantu TNI menjadi Tentara Rakyat yang lebih baik. Karena, lebih banyak mencurigai daripada mengoreksi dan lebih banyak pesimisme daripada optimisme. Jadi, menolak bukan solusi terbaik. Memaksa pembentukan Korem juga bukan pilihan tepat. Lalu apa?

Kita tersapa untuk duduk bersanding memetakan persoalan adalah jalan terbaik. Tanpa mengantongi negative thinking dan tanpa mengekori partner sebagai “evil” pengusik ruang kenyamanan. Dalam suasana penuh akrab nan sejuk itulah kita boleh merumuskan cita-cita bersama ke depan. Nuansa harmonis seperti ini sekian sering diloncat. Padahal, jauh lebih ampuh dari kontruksi formulasi solusi konflik modern sekarang.

Ketiga, salah satu penyebab munculnya “kisruh” penolakan TNI adalah orang Flores tidak memahami apa visi misi TNI ke Flores. Aspiratif penolakan justru terbangun di atas logika kecurigaan-kecurigaan, ignorantia, isu, firasat, dan pengalaman traumatis fragmentatif. Oleh karena itu, TNI perlu merumuskan secara transparatif apa misi dan visinya pembentukan Korem di Flores.

Tak kalah penting lagi adalah TNI perlu melakukan pendekatan terhadap Gereja lokal di Flores. Kebanggaan dan kemajuan Flores hingga saat ini tidak terlepas dari peran domain Gereja lokal. Pengaruh Gereja selalu mendapat tempat di hati rakyat Flores. Hendaknya TNI mengakrabi dan membangun kerja sama dengan Gereja lokal Flores. Ini langkah awal yang menurut saya sangat menentukan.

Buktikan secara profesional tekad bulat dan tulus mengabdi masyarakat Flores. Kalau dulu profesionalisme TNI terfokus pada perang melawan penjajah. Maka, sekarang sepatutnya profesionalisme TNI tercurah kepada pembangunan masyarakat secara utuh. Sambil terus mereformasi diri agar kiprah TNI tetap mendapat tempat di kalbu rakyat.

Keempat, teken mutual kontrak. Mungkin solusi ini sangat ekstrem. Rakyat dan TNI mesti urutkan list kontrak kerjasama. Urutkan pula norma-norma aturan mainnya. Apa sanksinya, jika dilanggar? Semuanya mesti hitam putih di atas kertas.

Akhirnya, ”Janji sudah kita dengungkan, tekad sudah kita tanamkan, semua ini tidak akan bermanfaat bagi tanah air kita, apabila janji dan tekad ini tidak kita amalkan dengan amalan yang nyata. Mata seluruh rakyat, negara dan pemerintah sedang memandang kepadamu dengan penuh harapan dan penuh kepercayaan” (Amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman).

Toh, ada juga anak, om, saudara, adik, kakak, kakek kita yang sudah, sedang dan akan jadi TNI!

Penulis, staf Televisi TBN Asia tinggal di Manila

0 comments: