EROSI KEJUJURAN
Fidel Hardjo
Jangankan kita ditipu, sangat dibenci. Menipu pun dilarang keras bahkan berdosa. Jika demikian, mengapa orang boleh tipu alias bohong pada hari tipu, setiap tanggal 1 April? Mengapa tidak ada hari kejujuran? Apakah ini, isyarat kejujuran yang kian terkikis?
“Poisson d’Avril”
Salah satu kisah pupular tentang asal-muasal hari tipu berasal dari Perancis yang dikenal “Poisson d’Avril” (April Fish).
Konon, hari tipu berawal ketika Paus Gregory XIII memberlakukan kalender Kristiani tahun 1582. Raja Perancis Charles IX adalah pemimpin dunia pertama yang mengadopsi kalender Gregorian diberlakukan di Perancis.
Pemberlakuan kalender Gregorian ini menyebabkan pergeseran perayaan tradisi tahun baru di Perancis dari 1 April menjadi 1 Januari. Sebagai pergeseran pesta “Vernal Equinox”, perayaan menjemput tibanya musim semi sekaligus tanda lahirnya tahun baru (berkisar tanggal 25 Maret sampai puncaknya 1 April).
Bagi penduduk yang masih merayakan pesta tahun baru tanggal 1 April biasanya diolok-olok oleh tetangganya dengan teriakan “Poisson d’Avril”. Mereka ini dipersonifikasi seperti ikan kecil yang biasanya inocent, lugu, lamban, mudah dijebak dan ditangkap.
Itulah sebabnya, orang yang terkena korban trik tipu pada hari tipu diteriaki “April Fish atau April Fool”.
Kejahatan Eternal
Peringatan hari tipu di Indonesia pun, tidak ketinggalan gregetnya untuk dirayakan. Orang mengecoh trik tipu di mana-mana. Misalkan, kirim surat kaleng, berita menang undian bohong via SMS, kirim berita bohong ibu sakit dan lain-lain.
Pokoknya, ada-ada saja trik untuk mengerjain orang lain, pada hari tipu. Jika trik itu terlanjur ketahuan maka diteriaki, kapok hari tipu lho! Entah apapun model trik tipu pada hari tipu, setidaknya ia memantulkan realitas obyektif, apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.
Pertama, tanpa hari tipu pun, orang sudah biasa bohong-membohong. Tiada hari tanpa bohong. Atasan bohong bawahannya sudah biasa. Pemimpin berlaku bohong terhadap rakyatnya sudah common. Suami bohong istrinya sudah tidak menjadi rahasia lagi. Sopir taksi bohong penumpang dengan cargo palsu sering terdengar, bahkan beredarnya uang palsu kian menakutkan.
Cuma bedanya, trik tipu pada hari tipu, “dikemas” untuk melahirkan lelucon segar dan kejutan kegembiraan kepada relatif, keluarga, kawan, atasan-bawahan, guru-murid dan lain-lain. Sejauh batas-batas kewajarannya tetap terjaga, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, misalkan orang bisa shock, depresif dan sakit hati.
Kedua, tipu-menipu adalah kejahatan eternal. Ia telah eksis setua usia manusia menghuni planet bumi ini. Ia telah mengerangkeng dan mengikis ruh kejujuran, yang seharusnya dimiliki oleh setiap insan manusia.
Runtuhnya Kejujuran Sosial
Implikasi riil terkikisnya kejujuran adalah lahirlah aneka kehancuran (perang, bencana dan penyakit), keputusan yang tidak bijaksana, dan ketidakadilan di mana-mana.
Bencana alam datang silih berganti, perang tetap berkecamuk, epidemik penyakit baru adalah bahasa sempurna, bahwa manusia sebenarnya sedang tidak berlaku jujur terhadap dirinya, alam, sesama bahkan Tuhan yang diyakininya.
Sebut saja masalah Timur Tengah, AS berkali-kali berjanji menjadi Big Brother memediasi sengketa Israel-Palestina tapi nyatanya sampai saat ini sengketa itu kian kelabu. Apa yang salah sebenarnya? Seandainya AS berlaku jujur terhadap dua pihak, mungkin masalahnya tidak separah sekarang ini. Berlaku jujur adalah kunci utamanya.
Kekerasan HAM di Tibet yang terus berkecamuk akhir-akhir ini adalah wajah lain dari erosi kejujuran itu. Banyak orang mendiskreditkan kebijakan Bejing. Tapi, kita lupa bertanya, berlaku jujurkah pengikut Dalai Lama terhadap gerakan kemerdekaan Tibet?
Apalah artinya kerinduan berdialog, kalau para demonstran memilih bertindak anarkis untuk merdeka sekaligus mencoreng nama baik Cina di tengah persiapan pesta Olympic Bejing 2008.
Di Indonesia, erosi kejujuran lain lagi. Kasus Lumpur Lapindo, busung lapar dan jual hutan seharga “pisang goreng” adalah salah satu bukti riil bagaimana kejujuran pemimpin kita kian redup.
Masih adakah kejujuran yang tersisah di hati pemimpin kita, ketika ibu pertiwi ini dirundung sedih, menyaksikan berjejernya balita terjangkit penyakit busung lapar, kurang gizi dan terjualnya hutan seharga pisang goreng?
Tidak hanya itu. Kasus susu formula, yang menurut penelitian Fakultas Kedokteran Hewan IPB terbukti mengandung Enterobacter Sakazakii membahayakan bayi, dengan sekejap pemimpin menepis hasil penelitian itu. Jujurkah pemimpin kita untuk menghargai hasil obyektivitas ilmu pengetahuan? Jika obyektivitas ilmu pengetahuan saja “disepelehkan” apalagi niat tulus nan suci memperbaiki dunia pendidikan itu sendiri, jangan diharapkan.
Semua realitas ini mengindikasikan bahwa dunia dan bangsa kita sedang mengalami bencana erosi kujujuran, runtuhnya kejujuran sosial.
Jika bukan tipu-menipu alias bohong-membohong yang bisa menyelamatkan kita, lantas apa? Thomas Jefferson menjawabnya dengan lantang, “honesty is the first chapter of the book of wisdom” (Presiden Ketiga AS, 1801-1809).
Selamat memperingati Hari Tipu!
Penulis, Staf Televisi TBN Asia, Tinggal di Manila
0 comments:
Post a Comment